Rabu, 07 Maret 2012

Makalah Seminar Pembelajaran Bahasa di PPS Unsri, 2008

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRISTISE GURU

 Kasmansyah
Dosen FKIP Universitas Sriwijaya

  
1.     Pendahuluan


Penggunaan bahasa Indonesia, baik  dalam kegiatan pembelajaran, maupun kegiatan lainnya,  mengacu kepada politik bahasa nasional yang berisikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing (Halim, 1984:15). Politik bahasa nasional  berawal dari salah satu pernyataan sikap dalam Sumpah Pemuda 1928 yang berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pernyataan sikap itu setelah Indonesia merdeka secara resmi dinyatakan dalam  UUD 1945, Bab XV,  Pasal 36  bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”,  memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahasa penghubung pada tingkat nasional tetapi juga sebagai bahasa resmi kenegaraan. 

Sejalan dengan itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Halim (1984:17) mengemukakan

 “Pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam masyarakat nasional Indonesia,  dan alat perhubungan antarsuku, antardaerah serta budaya. Kedua, di dalam kedududukannya  sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Bila mengacu kepada politik bahasa nasional,  semua guru mempunyai dasar dan  komitmen yang kuat dalam kegiatan pembelajaran di kelas atau di luar kelas, menggunakan bahasa Indonesia, baik guru bahasa Indonesia, maupun guru bidang studi lainnya (Melayu Online, 20 Januari 2007). Mengacu kepada beberapa temuan di sekolah saat mahasiswa melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), baik pendidikan dasar (TK dan SD), pendidikan menengah (SMP, SMA, dan SMK) ternyata cukup banyak guru bidang studi nonbahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, lisan atau tulisan. Sebagian guru menggunakan bahasa daerah, bahasa asing, dan “bahasa campuran”  (Laporan UPPL FKIP Unsri, 2007).  Berdasarkan temuan itu, ada kesan penggunaan bahasa Indonesia di sekolah merupakan urusan guru bahasa Indonesia, sedangkan guru bidang studi lain beranggapan “yang penting siswa mengerti apa yang diajarkannya”. Selain itu, ada yang mengkhawatirkan, ada beberapa guru bahasa Indonesia yang mulai tidak konsisten menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran.
Salah satu penyebab penggunaan bahasa Indonesia belum digunakan secara optimal dalam kegiatan pembelajaran di sekolah terkait dengan sikap bahasa. Sikap bahasa,  dapat dalam bentuk sikap postif, dan sikap negatif. Sikap positif terhadap bahasa merupakan sikap yang cenderung berupaya meningkatkan kemampuan berbahasa dan penggunaan bahasa, sedangkan sikap negatif terhadap  bahasa merupakan sikap yang tidak ada upaya meningkatkan kemampuan berbahasa, dan cenderung menganggap remeh terhadap bahasa. Sehubungan dengan sikap bahasa itu, tulisan singkat ini mencoba mengemukakan berapa faktor penyebab sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, dan alternatif penyelesaiannya.

2. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kegiatan Pembelajaran
Penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran dapat dibedakan atas: a) persiapan kegiatan pembelajaran, dan b) pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan persiapan pembelajaran terkait dengan persiapan tertulis dalam bentuk RPP (Rencana Program Pembelajaran). Komponen RPP mencakup identitas mata pelajaran, jenis dan jenjang pendidikan, kelas/semester, standar kompetensi, kompetensi dasar indikator, pemilihan dan pengorganisasian materi ajar, pemilihan sumber/media, skenario pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.  Selain penggunaan bahasa tulis dalam RPP,  penggunaan bahasa tulis dan lisan juga dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran mencakup: prapembelajaran, membuka pelajaran, kegiatan inti pembelajaran (penguasaan materi pembelajaran, pendekatan strategi pembelajaran, pemanfaatan sumber belajar dan media, pembelajaran yang memicu dan memelihara keterlibatan siswa, penilaian proses dan hasil belajar, penggunaan bahasa), penutup (melakukan repleksi dan tindak lanjut).  Dalam penilaian kegiatan pembelajaran digunakan instrumen dalam bentuk IPKG 1 (Instrumen Penilaian Kinerja Guru 1) untuk penilaian RPP, sedangkan penilaian kegiatan pembelajaran menggunakan IPKG 2 (Instrumen Penilaian Kinerja Guru 2) (Pedoman Teknis  PPL FKIP Unsri, 2007).
Mengacu kepada hasil penilaian RPP  yang diajukan guru sebagai portofolio untuk sertifikasi guru dalam jabatan, cukup banyak RPP yang penulisannya belum memenuhi kaidah bahasa tulis yang benar,  di antaranya, kesalahan ejaan, pilihan kata, susunan kalimat yang tidak efektif, penulisan sumber, dan penulisan media pembelajaran.  Dalam kegiatan pembelajaran,  sering ditemukan guru menggunakan bahasa daerah (Bahasa Palembang), dan mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, atau bahasa asing,  daripada menggunakan bahasa Indonesia.
Banyak faktor yang menyebabkan guru tidak optimal menggunakan bahasa Indonesia, di antaranya: (a) ada anggapan bahwa  penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan urusan guru bahasa Indonesia, dalam kegiatan pembelajaran yang penting siswa mengerti; (b) tidak ada ketentuan yang tegas dan jelas bagi guru nonbahasa Indonesia, nonbahasa asing harus terampil dan mau menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran; (c)  bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia dengan tidak ada upaya meningkatkan keterampilan berbahasa dan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar; (d) pengaruh media massa yang cenderung kurang membina bahasa Indonesia, tetapi lebih mengarah ke sikap negatif terhadap bahasa Indonesia,  seperti lebih mengutamakan bahasa asing, cenderung vulgar, dan tidak menggunakan bahasa secara santun.
Peran media massa dalam mempengaruhi kualitas penggunaan bahasa Indonesia sampai saat ini sangat penting, karena dalam era global sekarang media massa merupakan sarana komunikasi yang paling efektif dalam mempengaruhi sikap dan perilaku manusia,  baik yang positif, maupun yang negatif, termasuk dalam  mempengaruhi sikap bahasa dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran di sekolah (Muslich, 26 April 2007;  Kasmansyah, 2003). Saat ini peran media massa dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia lebih mengarah kepada hal yang negatif, dalam kaitannya dengan penularan sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, contoh-contoh pemakaian bahasa yang  berkesan mengabaikan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar (Kasmansyah, 2003).

3. Pembinaan Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia
Ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam pembinaan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Salah satu pembinaan yang dapat dilakukan di antaranya: (a) pembinaan secara internal guru bahasa Indonesia,  dan (b) pembinaan secara eksternal.
Pembinaan sikap positif secara internal di antaranya, adanya pola kebijakan yang mengatur agar guru bahasa Indonesia secara berkala dan terencana dapat meningkatkan kualitas keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, menulis, dan berbicara), baik dalam kaitannya dengan persiapan mengajar, maupun dalam pelaksanaan pembelajaran, dan pasca pembelajaran. Pola kebijakan ini, misalnya, guru bahasa Indonesia yang tidak bersikap positif terhadap bahasa Indonesia diberi sanksi, sedangkan yang bersikap positif terhadap bahasa Indonesia diberi imbalan yang edukatif.  Imbalan yang edukatif, misalnya, pemberian buku-buku yang terkait dengan peningkatan mutu pembelajaran bahasa Indonesia, ditugaskan mengikuti pelatihan, seminar yang relevan dengan bidang studi, atau studi lanjut. Selain itu, ada kebijakan secara berkala program pelatihan peningkatan mutu pembelajaran bahasa Indonesia yang mengacu kepada kebijakan kebahasan yang ada.
Kebijakan kebahasaan di Indonesia selama ini mengacu kepada pola kebijakan  politik bahasa nasional yang di dalamnya mengatur arah dan  kebijakan kebahasaan di Indonesia (Halim ed., 1984). Dalam kebijakan politik bahasa nasional itu, Indonesia mengenal adanya  bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing. Ketiga bahasa itu di Indonesia digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi saat menggunakannya (Kasmansyah, 2003).
Penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran dituntut lebih efektif dan efisien dalam mewadahi berbagai konsep yang diperlukan siswa, sesuai dengan jenjang pendidikan yang ada.  Selain itu, bahasa Indonesia juga harus dapat memenuhi keperluan siswa dan masyarakat pemakainya dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, pendidikan, pengetahuan, teknologi, keamanan, dan kebudayaan (Moeliono, 1985). Dengan kata lain, bahasa Indonesia harus dapat mewujudkan jati dirinya sebagai bahasa modern, sebagaimana yang diamanatkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).  Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila upaya pembinaan sikap positif bahasa berjalan dengan baik. Program itu akan berjalan sebagaimana yang diharapkan apabila didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, baik yang duduk sebagai pemegang kebijakan di bidang pendidikan, maupun yang terjun langsung ke lapangan, seperti guru.
Oleh karena itu, peningkatan sumber daya manusia seperti yang sudah dikemukakan dalam pola kebijakan pembinaan sikap positif terhadap bahasa Indonesia harus dilakukan, baik  melalui jalur formal maupun jalur nonfomal. Salah satu butir tujuan pembinaan bahasa Indonesia ialah membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Hal ini memberikan isyarat bahwa masalah sikap merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilab pembinaan tersebut. Dari sikap positif inilah akan tumbuh kecintaan dan kebanggan berbahasa Indonesia (Ansari dalam http://www.bainfo komsumut.co.id   diakses 2 November 2008).
Penggunaan bahasa Indonesia telah memperlihatkan peranannya dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik sebagai sarana komunikasi maupun sebagai pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan supaya bahasa Indonesia benar-benar menjadi kebanggan bangsa Indonesia sehingga dapat meningkat prestise bahasa, dan prestise pengguna bahasa.
Pembinaan sikap positif secara eksternal dapat berwujud kebijakan pengambil keputusan dalam bidang pendidikan, Pusat Bahasa, Balai Bahasa, Lembaga Pers tentang pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, termasuk pembinaan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Salah satu wujud pembinaan sikap positif secara eksternal ini adalah adanya upaya berbagai pihak yang terkait dengan pembinaan bahasa Indonesia agar berupaya meningkatkan prestise sosial bahasa Indonesia.
Upaya peningkatan prestise sosial bahasa Indonesia yang selama ini cenderung berkesan rendah dibandingkan  prestise sosial bahasa asing (terutama bahasa Inggris) merupakan tantangan yang harus diselesaikan secara terencana dan terarah (Kompas Cyber Media, 14 Juni 2002).  Salah satu cara yang dapat dilakukan agar bahasa Indonesia mempunyai ”gengsi sosial”  yang tinggi di kalangan guru dan masyarakat Indonesia adalah memberikan penghargaan yang proporsional kepada guru dan anggota masyarakat yang mampu berbahasa Indonesia (baik lisan maupun tulis) dengan baik dan benar, sebagai bagian dari prestasi yang bersangkutan. Misalnya, sebagai persyaratan pengangkatan pegawai negeri, sebagai persyaratan promosi jabatan bagi guru (profesional atau fungsional), pemberian royalti yang layak kepada penulis/pengarang di bidang masing-masing dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pembinaan sikap positif terhadap bahasa Indonesia, baik internal guru bahasa Indonesia, maupun eksternal guru bahasa Indonesia, perlu  perencanaan yang matang dan menyeluruh, dukungan pemerintah yang optimal, dan keterlibatan masyarakat Indonesia sebagai pemakai dan pemilik bahasa Indonesia (Ansari dalam http://www.bainfo komsumut.co.id   diakses 2 November 2008)

4.  Guru Bahasa Indonesia sebagai Teladan
Pembinaan sikap positif terhadap bahasa Indonesia akan efektif bila dimulai dari guru bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia hendaknya sebagai contoh penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, baik lisan, maupun tulisan. Hal ini, sejalan dengan pendapat Ansari (2008) bahwa persoalan mempertahankan reputasi bahasa Indonesia sangat diharapkan pada pundak guru bahasa Indonesia dan para pembina bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia merupakan salah satu penjaga dan pembina bahasa Indonesia. Salah satu tolok ukur kompetensi guru bahasa Indonesia dapat dilihat dari kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Kemampuan berkomunikasi yang baik merupakan penentu keberhasilan karir seseorang. Siswa sebagai calon pemimpin, harus mendapat bekal kompensasi cakap berkomunikasi, berargumentasi, dan berdakwah. Akan tetapi, guru hendaknya memiliki kompetensi berkomunikasi dan mengembangkannya kepada siswa.
Harapan ideal kompetensi profesional guru bahasa Indonesia, seorang guru bahasa Indonesia yang profesional secara tidak langsung dapat menguasai dan belajar berbagai metode pembelajaran yang beragam. Penguasaan berbagai metode pembelajaran dapat menempatkan guru bahasa Indonesia berfungsi sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu, pribadi, peneliti, pendorong kreatifitas, model dan teladan. Dengan demikian, guru bahasa Indonesia setidak-tidaknya memiliki profil sebagai berikut: (1) guru Bahasa Indonesia yang profesional harus dapat dipercaya dan ditiru; (2) menguasai materi pelajaran, mampu memilih dan menyajikan bahan ajar sesuai dengan perkembangan siswa, memahami tingkat kesulitan bahan ajar, memahami keterkaitan bahan ajar dengan mata pelajaran lain berdasarkan kecerdasan ganda; (3) menguasai metodologi pembelajaran; (4) berperan sebagai fasilitator, motivator dan inspirator; (5) guru bahasa Indonesia adalah figur guru yang menyenangkan dan penyayang; (6) guru Bahasa Indonesia adalah seorang pemimpin; (7) guru Bahasa Indonesia yang profesional adalah memahami dan dapat menerjemahkan kehidupan masyarakat dalam pembelajaran bahasa di sekolah, sehingga siswa dapat merasakan manfaat dan makna belajar; (8) guru bahasa Indonesia yang profesional adalah seorang jurnalis, harus memiliki wawasan iptek yang luas, sebagai pembelajar (learner).
Menjadi guru Bahasa Indonesia yang kreatif dan inovatif berarti selalu mencari variasi baru, dalam rancangan bahan ajar dan penyampaian materi secara sederhana kepada para siswa. Bila guru bahasa Indonesia telah memiliki sikap inovasi dan kreatif, maka pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah akan lebih menarik dan disenangi oleh siswa. Hal itu akan membawa pencitraan guru bahasa Indonesia semakin tinggi, yang akan berimbas kepada sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

5. Penutup
         Merujuk kepada kebijakan politik bahasa nasional, UUD 1945, guru bahasa Indonesia dan guru bidang studi lain di sekolah, tidak perlu ragu-ragu menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran.  Penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap kegiatan pembelajaran berarti guru sudah melakukan pembinaan sikap positif terhadap bahasa. Pembinaan sikap positif terhadap bahasa Indonesia yang dilakukan guru dan masyarakat bila dilakukan secara terus-menerus akan menumbuhkan prestise sosial bahasa Indonesia, yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi  dan prestise penggunanya.
         Penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran agar dapat meningkatkan prestise guru, perlu dikawal oleh pengambil kebijakan di sekolah, dan Dinas Pendidikan. Selain itu, guru dan pengambil kebijakan harus menjadi contoh yang baik penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA


Ansari, Khairil.  1 September 2008. “Seminar Nasional Bahasa dan Peningkatan Daya Kreatif dan Inovatif 2008”  http://www.bainfokomsumut.co.id  diakses 2 November 2008.
UPPL FKIP Unsri. 2007. “Pedoman Teknis PPL”. Indralaya: FKIP Unsri.

UPPL FKIP Unsri. 2007. “Laporan Kegiatan PPL Mahasiswa FKIP Unsri”.

Halim, Amran (Editor). 1984. Politik Bahasa Nasional 1. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kasmansyah. 2003. “Mengkaji Ulang Peran Media Massa dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia” . Makalah. Disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII di Hotel Indonesia, Jakarta, 28 Oktober 2003.

Kompas Cyber Media. 14 Juni 2002. “Memakai Kata Asing Cermin Lunturnya Sikap Bahasa”  diakses  20 Juni 2008.

Kompas Cyber Media. 20 November 2006. “Bahasa Asing Dinilai Dinilai Lebih Bergengsi dari Indonesia”  diakses 20 Juni 2008.

Melayu Online. 20 Januari 2007. “Bahasa Indonesia: Memasyarakatkan Kembali ‘Bahasa Pasar’?” diakses  10 September 2008.

Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

Muslich, Masnur. 26 April 2007. “Bahasa Indonesia dan Globalisasi.”  Masnur Muslich diakses  21 Juli 2008.

Sugono, Dendy.  10 September 2007. “Bahasa Indonesia Merekat Bangsa” . Cabik Lunik diakses  21 Juli 2008.

Sukirno. 28 Oktober 2008. “Bahasa Indonesia tak Lagi Pemersatu”. Gigihnusantara@yahoo.com diakses Juli 2008.

Syamsuriadi. 4 Agustus 2005. “Gagal UN karena Bahasa Indonesia.”  Pendidikan Network  diakses 20 Agustus 2008.