Selasa, 07 Mei 2013

Renungan tentang Kasih Sayang Ibu


IBU, CINTAMU SUNGGUH LUAR BIASA
Written by dr. Andhyka Sedyawan. Posted in ArticlesCinta Hebat
Assalaamu’alaikum. Salam Hebat,
Kamu pasti setuju bahwa Ibu adalah sosok yang paling Luar biasa yang tak tergantikan. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah... kalimat ini menggambarkan betapa luar biasanya kasih sayang ibu yang memang tiada duanya, Ikhlas memberi tanpa harap tuk dibalas kembali.
Rasanya… tak habis-habis ungkapan untuk menyanjung hamba Allah yang di hormati ini. Setuju?
Sahabat, aku pun punya cerita menarik.  Semoga menjadi Inspirasi ya.., yuk lanjuut,
Alkisah, seorang pemuda sedang melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Dia sudah berhasil lolos di tes-tes pendahuluan, dan kini tiba saatnya dia harus menghadap kepada pimpinan untuk wawancara akhir.
Setelah melihat hasil tes dan penampilan si pemuda, sang pemimpin bertanya, “Hai Anak muda, apa cita-citamu?”
Dengan tegas pemuda itu berucap, “Cita-citaku, suatu hari nanti bisa duduk di bangku Bapak,” jawab si pemuda.“Kamu tentu tahu, untuk bisa duduk di bangku ini, tidaklah mudah. Perlu kerja keras dan waktu yang tidak sebentar. Betul kan?” sahut sang pimpinan.
Si pemuda hanya menganggukkan kepala tanda setuju.“Apa pekerjaan orangtuamu?” lanjutnya bertanya.“Ayah saya telah meninggal saat saya masih kecil. Ibulah yang bekerja menghidupi kami dan menyekolahkan saya selama ini.”
“Apakah kamu tahu tanggal lahir ibumu?” kembali sang pimpinan bertanya.
“Di keluarga kami tidak ada tradisi merayakan pesta ulang tahun, sehingga saya juga tidak tahu kapan ibu saya berulang tahun.”“Baiklah anak muda, bapak belum memutuskan kamu diterima atau tidak bekerja di sini. Tetapi ada satu permintaan saya! Saat di rumah nanti, lakukan sebuah pekerjaan kecil ini yaitu cucilah kaki ibumu dan besok datanglah kemari lagi.”
Walaupun bingung dan tidak mengerti maksud dan tujuan permintaan tersebut, demi permintaaan yang tidak biasa itu, dia ingin mencoba melakukannya.
Setelah senja tiba, si pemuda membimbing ibunya duduk dan berkata, “Ibu nampak lelah, duduklah Bu, Aku akan cuci kaki ibu.”Sambil menatap takjub putranya, si ibu menganggukkan kepala. “Anakku, rupanya sekarang engkau telah dewasa dan mulai mengerti.”
Si pemuda pun mengambil ember berisi air hangat, kemudian mengamati sepasang kaki ibundanya yang sudah tampak rapuh, berkeriput, dan terasa kasar di telapak tangannya itu mulai direndam sambil diusap-usap dan dipijat perlahan.Diam-diam airmatanya mengalir perlahan. “Ibu, terima kasih terima kasih tak terhingga yang takkan pernah terbalas. Berkat kaki inilah aku bisa menjadi seperti hari ini.” ibu, aku mohon maaf atas semua kesalahan yang membuat ibu tersakiti.. maafkan ananda ya ibu…
“Si ibu pun ikut terhanyut dalam suasana haru, dan mereka pun saling berpelukan dengan penuh kasih dan kelegaan.
Tibalah  keesokan harinya, ketika sudah berhadapan dengan sang pemimpin, dia pun berkata berkata, “Coba ceritakan, bagaimana perasaanmu saat kamu mencuci kaki ibumu.”
“Sekarang saya mengerti akan pengorbanan dan kasih sayang ibu yang tiada habisnya. Kali ini saya sadar, betapa ibu telah menjadi sosok yang luar biasa di hati saya. Siapapun diriku saat ini, atau akan menjadi apa saya kelak. Saya sangat berutang budi kepada kepada ibuku yang bagai malaikat, dan melalui kaki ibu, saya pun tersadar, bahwa saya harus bekerja dengan sungguh-sungguh demi membaktikan diri dan menjadi kebanggan ibu saya”
Mendengar jawaban si pemuda, akhirnya sang pemimpin menerima dia bekerja di perusahaan itu. Karena sang pemimpin yakin, seseorang yang tahu bersyukur dan tahu  membalas budi kebaikan orangtuanya, dia adalah orang yang mempunyai cinta kasih. Dan orang yang seperti itu pasti akan bekerja dengan serius dan sukses!
Sahabat, Indahnya dunia bila kita selalu bersyukur atas apa yang sudah kita lewati selama ini, apa itu baik atau buruk, susah ataupun senang apapun itu, Saya yakin Tuhan punya rencana yang baik untuk kita, dan tak lupa kita juga bersyukur telah dilahirkan dari rahim ibu yang selalu menjadi kekuatan terselubung dalam hidup kita. Ya, ibu, mama, bunda, emak, apapun namanya.. Saya yakin kamu juga setuju kalau saya  mengatakan mereka adalah wanita hebat, dinamis dan penuh cinta.  Dia telah memberikan cintanya kepada kita supaya kita juga bisa menjadi luar biasa.

Love u mom… Love u Forever…!
With Love,
dr. Andhyka P Sedyawan

FEATURE TENTANG DASLAN ISKAN


(1) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Anjangsana Penuh Makna

Demonstrasi Malari dan Berkenalan dengan Dunia Jurnalistik


Awam diketahui bahwa bekas bos besar Jawa Pos Group yang kini Menteri BUMN, Dahlan Iskan, juga seorang jurnalis. Sebuah profesi yang mulai ditekuninya ketika kuliah di Samarinda. Bagaimana cerita lampau si tokoh yang bahkan kuliahnya tak lulus itu di Kota Tepian? Kaltim Post menguliknya lewat penuturan sumber yang dahulu dekat dengan Sang Menteri.


PEMUDA yang agak ceking itu mengenakan paduan celana kain dan kaus berkerah yang menutupi sebagian kulit sawo matangnya. Tatapan mata tajam tersorot dari wajah bulatnya. Sedikit tirus, tonjolan tulang di kedua pipinya kokoh di bawah kening yang tertutup poni.

Telapak kakinya yang mengenakan sandal pelan-pelan melangkah ke seorang yang lebih tua. Sayid Alwy AS, demikian orang yang sedang didekati pemuda itu. Badan Alwy besar dan tegap. Kumisnya tebal dan kulitnya agak gelap.

Di sebuah kantor surat kabar di Samarinda pada Februari 1974, pria yang didekati itu sadar. Sejurus kemudian dia menyapa si pemuda, “Eh, Lan, apa kabar?”

Pemuda bernama Dahlan Iskan itu tak segera menjawab. Tetapi dari rautnya, ada sesuatu yang hendak disampaikan. Setelah beberapa lama dia membuka suara. “Kakak, saya dikejar-kejar militer,” katanya, berkeluh kesah. Mendengar itu, Alwy kaget. Selaksa tanya bergelimang di benak jurnalis itu.

Alwy heran, bagaimana bisa, Dahlan, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda itu sampai berurusan dengan militer. Bagaimana bisa, pemuda di hadapannya yang sudah dia anggap adik itu tiba-tiba menjadi dicari-cari.

Tetapi pikirannya segera melayang ke masa lampau. Alwy tahu, Dahlan memang ekstrem. Kira-kira, seekstrem Nurcholis Madjid, tentang sejumlah pandangannya tentang agama. Itu dirasakan Alwy, ketika mereka pertama kali berkenalan enam bulan sebelum anjangsana ini di sebuah ruangan di samping Gedung Nasional. Sekarang, lokasi gedung itu di Jalan Jenderal Sudirman, Samarinda. Waktu itu, Alwy dan Dahlan sama-sama mengikuti sebuah diskusi agama.

Usai perkenalan itu, Alwy mulai ingat, jika Dahlan aktif di beberapa organisasi seperti Pelajar Islam Indonesia. Bukan organisasi terlarang pada masa itu. Lantas, dari mana juntrungannya sampai dikejar-kejar militer? “Kok, bisa?” Akhirnya, kalimat tanya yang dari tadi tertahan keluar juga. “Malari,” jawab Dahlan singkat. Tak lama kemudian, pemuda itu bercerita panjang lebar.

***

MALARI, sebuah akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari. Momentum ketika unjuk rasa besar-besaran pada 15 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia dan diterima Presiden Soeharto.

Di Jakarta, Hariman Siregar menjadi tokoh penggerak demonstrasi ketika kedatangan pemimpin Negeri Matahari Terbit itu. Demonstran mengusung perjuangan antimodal asing, tema yang santer beberapa tahun belakangan. Momentum kunjungan perdana menteri lalu membuat Jakarta membara. Kobaran api mulai merebak di penjuru ibu kota. Panasnya terasa ke seluruh penjuru negeri termasuk Samarinda.

Dahlan bersama beberapa kawan sekampusnya enggan ketinggalan. Mereka ikut mengadakan aksi. Di antara beberapa teman, terdapat nama Syaiful Teteng yang kemudian menjabat sekprov Kaltim pada dekade 2000-an, dan, Syarifuddin Prawiranegara, seorang aktivis masa itu.

Dahlan dan kawan-kawan lantas berdemonstrasi kecil-kecilan. Selembar bendera hitam mereka kibarkan di Tugu Nasional yang sekarang persis di sebelah Kantor Pusat BNI 46 Samarinda di Jalan Pulau Sebatik.

Di Ibu Kota, Hariman Siregar sudah ditangkap penguasa Orde Baru. Di Samarinda, teman-teman Dahlan juga dikerangkeng. Militer di Balikpapan sudah mendaftar mereka-mereka yang berdemonstrasi pada siang 15 Januari itu. Tinggallah nama Dahlan sebagai yang terakhir dalam senarai pencarian.

“Oh, begitu rupanya. Memangnya kenapa, kok ikut-ikutan protes soal ekonomi dan politik?” tanya Alwy kepada Dahlan. Dengan berapi-api, yang ditanya menjawab. “Wah, kami ini sebagai anak muda harus menegakkan keadilan,” katanya penuh semangat, lalu melanjutkan, “Itu namanya idealis.”

Segera otak Alwy berputar lagi. “Kalau kamu begini, ya pasti ditangkap. Nah, mau tetap jadi aktivis? Mau idealis? Mau mengkritik tetapi tidak akan ditangkap? Ada caranya,” kata Alwy yang lahir di Singkang, Sulawesi Selatan, 27 Desember 1939 itu.

“Bagaimana caranya?” Dahlan yang kadung penasaran balik bertanya. Sembari mengulas senyum, Alwy menjawab, “Ikut saya. Kamu jadi wartawan.” 







***

ALWY adalah seorang jurnalis di Kaltim. Belum banyak pada waktu itu. Cerita panjang dia bergumul dengan dunia ini dimulai ketika mendirikan Surat Kabar Harian Mimbar Mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, pada pertengahan 1960-an. Di kediamannya di Jalan M Yamin, Samarinda, Alwy bercerita panjang kepada Kaltim Post, beberapa waktu lalu.

Alwy yang menghabiskan masa kecil di Samarinda, menyelesaikan kuliah ekonominya di Unlam. Di sana, dia mulai mengenal dunia jurnalistik ketika menjadi penyiar RRI Banjarmasin selama lima tahun.

Pernah suatu kali, ketika partai partai komunis menjalankan Gerakan 30 September 1965, Alwy harus mendekam di balik dinginnya jeruji. Gara-garanya, dia memberitakan seorang anggota partai komunis yang lolos dari tahanan. Sumber berita dari pihak militer dirahasiakan, membuatnya menjadi incaran penguasa.

Di pengujung Orde Lama, berita-berita demikian benar-benar sensitif. Alwy yang baru setahun menjadi sarjana muda ditangkap bersama seorang kawannya bernama Anang Adenansi (almarhum) yang juga aktivis. Keduanya ditahan di Markas Corps Polisi Militer di Banjarmasin.

Kabar penahanannya segera merebak. Banyak kerabat bersimpati. Mulai civitas Unlam sampai para taulan. Perhatian terus datang. Setiap hari, Alwy dan Anang dikirimi banyak makanan dari luar. Ada soto, nasi kuning, hingga ayam bakar. Rutin tiga kali sehari selama 40 hari. Saking banyaknya, makanan itu tak pernah bisa mereka habiskan. Sebagian diberikan kepada penjaga markas.

Ketika 40 hari berlalu, Alwy dan Anang dibebaskan. Keduanya sangat bahagia, tetapi tidak bagi para tentara yang berjaga di Markas CPM. Para penjaga itu agak bersedih karena rupanya, tidak ada lagi antar-mengantar konsumsi yang biasanya tandas di perut mereka.                                                                                                                           

***

KARIER jurnalistik Alwy terus melesat. Selepas keluar dari penjara, dia mendirikan Surat Kabar Harian Mimbar Mahasiswa di Unlam. Alwy yang menikahi seorang perempuan dari Berabai, Kalsel, bernama Suwinnah –sekarang guru besar di Universitas Mulawarman, Samarinda–, juga membentuk Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Ketika sedang aktif-aktifnya itulah, Alwy berkenalan dengan Abdoel Wahab Sjahranie, seorang petinggi militer di Kalsel.

Memasuki 1967, Sjahranie ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Gubernur Kaltim. Pada masa itu, belum ada surat kabar yang senapas Orde Baru di Bumi Etam –sebutan lain Kaltim. Sebelumnya, sudah ada koran-koran yang masih berusaha menyesuaikan diri dengan iklim Orde Baru. Rata-rata media cetak itu terbit mingguan di Balikpapan dan Samarinda, seperti Meranti, Wisma Berita, Pacific, BS Djaya, dan lainnya.

Gubernur Kaltim Abdoel Wahab Sjahranie pun menginginkan ada kehidupan pers yang bercita rasa Orde Baru di wilayahnya. Hingga suatu hari di pengujung 1970, Sjahranie berkata kepada Alwy, “Kenapa tidak membuat koran di kampung halaman saja?” Sebuah ajakan dari Gubernur yang segera disetujuinya.

Alwy pun pulang kampung ke Samarinda dan mulai mendirikan surat kabar. Sembari menghidupkan surat kabar, Alwy aktif berorganisasi. Dia menjadi sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kaltim. Oleh Gubernur Sjahranie, Alwy mendapat kantor untuk sekretariat KNPI di Jalan Hidayatullah –kantor itu didera musibah kebakaran, Idulfitri tahun ini.

Ketika menjadi ketua KNPI beberapa tahun berikutnya, sekretariat itu pun berfungsi ganda sebagai kantor surat kabar milik Alwy, Mimbar Masyarakat, tempat pertama kali Dahlan Iskan menggeluti profesi “penyambung lidah rakyat.” (bersambung)


(2) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Sandal Jepit si Idealis

”Jangan Idealis Jurnalis Dicampuri Urusan Bisnis!”



Dahlan Iskan bilang, semua petinggi PLN dulunya sama seperti dirinya yang demonstran jalanan. Ketika duduk di posisi penting, idealisme itu mesti dijaga. Ini memang soal idealis dan begitulah dia sejak dahulu. Dahlan Iskan bilang, tetap memakai sepatu kets walau sudah jadi menteri. Ini soal kesederhanaan dan begitulah dia sejak dahulu. 



KANTOR media yang bangunannya tidak mirip kantor itu berwujud di Jalan Hidayatullah, Samarinda. Sayid Alwy AS adalah pengelola surat kabar mingguan bernama Mimbar Masyarakat tersebut. Dia baru saja “merekrut” wartawan muda bernama Dahlan Iskan pada 1974.

Kantor Mimbar Masyarakat juga menjadi sekretariat Komite Nasional Pemuda Indonesia. Alwy juga ketua organisasi itu. Dulunya, bangunan bercat putih ini adalah mes pemerintah. Bentuknya memanjang ke belakang dengan sederet kamar. Di halamannya yang jembar terparkir sepeda para wartawan. 

Ruangan paling depan diubah menjadi kantor. Sebuah meja tata usaha dan kasir yang mengurus keuangan di bagian paling depan. Sedikit ke dalam, meja pemimpin redaksi yang tak lain adalah Alwy, bersanding dengan meja wartawan. 


Zaman itu, mencetak koran bukan perkara mudah. Huruf-huruf disusun dengan alat tempel aksara bernama letter. Sedangkan negatif foto dikirim ke Surabaya demi mendapatkan citra sempurna. Waktunya bisa berminggu-minggu. Walhasil, Mimbar Masyarakat tidak pernah menampilkan foto update. Alwy mengakalinya dengan memasang foto dokumentasi yang kira-kira berkaitan dengan berita apa yang akan diterbitkan di edisi terbaru.

Untuk mencetak koran, Alwy harus mengirim salinan halaman ke Percetakan Negara di Balikpapan. Jalan Soekarno Hatta yang sekarang menghubungkan Samarinda dan Balikpapan, belum ada waktu itu. Untuk ke Kota Minyak, harus naik kapal ke muara Sungai Mahakam lalu mendarat di kawasan Handil, Kutai (sekarang Kutai Kartanegara). Dari situ, dilanjutkan perjalanan darat sekitar 60 kilometer ke Balikpapan.

Kendati sulit mencetak surat kabar, Mimbar Masyarakat sebagai satu-satunya media cetak yang berani mengkritik, laku keras di Samarinda. Dalam tempo singkat, mingguan dengan 10 halaman zebra alias hitam putih selebar tujuh kolom itu oplahnya mencapai tiga ribu. 

Editorial yang dibuat Alwy, menjadi sukaan Gubernur Kaltim Abdoel Wahab Sjahranie. Isinya seputar permasalahan provinsi. Dan Alwy menjadi sangat dekat dengan Gubernur yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Kaltim itu. Boleh dibilang, dia adalah teman berdiskusi sang pemimpin. 

Dahlan kemudian bergabung di Mimbar Masyarakat setelah dia mengeluh kepada Alwy karena dikejar-kejar militer dalam demonstrasi Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) di Samarinda. Sudah ada dua puluh wartawan di media itu ketika Dahlan yang mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Samarinda ini bergabung pada 1974. Redaktur pelaksananya waktu itu Almarhum Syuhainie Zakaria. 

Di situ, Alwy menyampaikan dasar-dasar jurnalistik seperti kode etik, kelengkapan unsur berita, kejelasan sumber, mengolah lead, sampai keberimbangan berita kepada Dahlan. Tidak perlu waktu lama memindah-ilmu karena Dahlan memiliki naluri jurnalistik di atas rata-rata.


***


ALWY dan Dahlan datang ke Gubernuran Kaltim, beberapa bulan setelah profesi wartawan melekat pada pemuda itu. Mereka menemui Letkol Sayid Syekh, kepala Biro Sosial dan Politik Sekretariat Provinsi di sebuah ruangan di lantai dua. Sayid adalah kenalan lama Alwy.
“Tolong, Pak, kawan saya ini jangan lagi dicari-cari (militer),” kata Alwy, mengutarakan maksudnya. Dahlan yang di ruangan itu mimiknya datar. Tidak ada ekspresi sedikit pun. “Soal Malari. Dia sekarang ikut saya jadi wartawan. Kalau ada apa-apa, saya yang jadi jaminan,” lontar Alwy lagi (tentang Malari, silakan baca bagian pertama tulisan ini). 

Mendengar itu, Sayid sejenak terdiam. Sebagai teman lama, dia tahu benar siapa Alwy. Dia percaya benar sahabatnya itu. “Baik. Saya sampaikan ke atasan,” kata Sayid, mengabulkan permintaan Alwy.

Setelah bercengkerama tentang beberapa hal lainnya, kedua jurnalis itu ke luar ruangan. Alwy masih ingat benar, tidak ada yang berubah dari ekspresi Dahlan. Rautnya tetap biasa. Tapi dalam hatinya Alwy tahu, pemuda yang dianggap adiknya itu mendapatkan sebuah kelegaan. 


***

“BESOK, kita bertemu Gubernur Sjahranie,” ajak Alwy, pemimpin redaksi surat kabar mingguan Mimbar Masyarakat. Mata Dahlan, wartawan muda yang mendengar ajakan itu berbinar. 

Sebagai wartawan senior di Samarinda, Alwy kerap bertemu dengan Sjahranie. Banyak hal, terutama pembangunan di Kaltim yang mereka diskusikan. Dalam setiap perjalanan Gubernur ke pedalaman, Alwy tidak akan tidak turut serta.

Di masa Sjahranie pula sejumlah proyek besar dimulai. Sjahranie adalah penggagas Proyek Jalan Kalimantan (Projakal) mulai perbatasan Kalimantan Selatan di Paser hingga tembus Samarinda.

Gubernur itu juga menyediakan berhektare lahan bagi Universitas Mulawarman, di Gunung Kelua, Samarinda. Dia menggagas agar TVRI, stasiun televisi pemerintah yang sebelumnya berpusat di Balikpapan, bisa siaran di Samarinda. Termasuk pula, lahan rumah sakit umum yang kini memakai nama sang Gubernur, di Jalan Dr Soetomo. 

Hari itu, Alwy mengajak Dahlan berdiskusi ringan dengan Gubernur. Sampai tiba hari pertemuan yang dinanti,  sesuai janji, Dahlan menemui Alwy di kantor Mimbar Masyarakat pada suatu pagi. “Saya sudah siap, Kak,” kata Dahlan, seolah ganti mengajak Alwy supaya cepat-cepat ke Lamin Etam --kantor Gubernur, di Jalan Gajah Mada. 

“Baik. Mari kita berangkat,” jawab Alwy. Baru saja melangkah ke luar kantor, mata Alwy tertuju ke kaki reporter mudanya itu. Dia menemukan ada yang gasal. “Enggak salah, kamu? Mau ketemu Gubernur pakai sandal jepit? Ganti pakai sepatu dulu, baru kita berangkat,” sergah Alwy. Walhasil, rencana bertemu Gubernur gagal hari itu. Pertemuan pun berganti beberapa hari setelahnya. 


***

DETIK berganti menit, jam bersekutu dengan hari, dan bulan bersalin dalam tahun. Pasangan guru-murid di dunia jurnalistik itu kian rekat. Alwy begitu nyaman dengan Dahlan yang ceplas-ceplos tetapi sangat tekun dan bersemangat mencari berita. 

Pada suatu siang yang terik di Samarinda, Dahlan berkeliling kota. Sebagai reporter andalan, dia tidak ditempatkan di suatu pos. Memang pun, tidak ada pos-pos tertentu bagi wartawan di masa itu. Sebab, Samarinda tidak sebesar sekarang sehingga masih bisa mengelilinginya dengan bersepeda dalam waktu tak terlampau lama. 

Dahlan memburu berita di rumah sakit dan tidak menemukan kejadian. Beranjak ke kantor polisi dan Gubernuran, tiada hal yang layak untuk disajikan di surat kabar. Akhirnya, dia menuju kantor Mimbar Masyarakat. Otaknya mulai berpikir apa kiranya yang akan diketik. 

Tetapi jiwa jurnalis Dahlan yang waktu itu telah “pensiun” dari kuliahnya sangat kuat. Dia mendapat inspirasi. Menghadapi mesin ketik, Dahlan segera menulis sebuah berita. Judulnya kira-kira seperti ini, “Tumben, Tidak Ada Kejadian di Samarinda”. 

Di suatu malam lainnya, Alwy dan Dahlan asyik bercengkerama. Percakapan yang tidak terlampau serius sampai ketika Alwy melontarkan kalimat, “Ding, baik jika selain mencari berita, cari jugalah iklan dan pelanggan untuk koran kita.” (Ding, panggilan kepada adik dalam bahasa Banjar). 

Mendengar itu, Dahlan spontan menyanggah. Dia menolak mentah-mentah. “Ini yang saya tidak setuju. Jangan wartawan dengan idealismenya dicampuri urusan bisnis. Jangan sekali-sekali seperti itu,” timpal Dahlan, kemudian melanjutkan dengan suara yang makin meninggi, “Nanti, jika menerima sesuatu (dari narasumber), hasil wawancara tidak lagi murni!” 

Alwy tidak membalas lagi argumen itu. Dalam hatinya dia menyesal menyampaikan hal itu sekaligus bangga. Bangga karena Dahlan yang direkrut dengan keidealisannya masih seidealis kala dia dikejar-kejar militer dulu. “Oh, begitu,” jawab Alwy, singkat. Sesingkat pembicaraan yang akhirnya usai pada malam itu. 


(3) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Sebuah Kerelaan
Program Magang yang Jadi Pintu Gerbang 


Setiap orang punya jalan. Setiap orang punya garis kehidupan. Tapi tak semua orang mampu membukakan jalan dan garis kehidupan itu bagi seorang lainnya, seperti yang dilakukan Alwy kepada Dahlan Iskan.


LEMBAGA Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial baru saja didirikan pada 1975 di Jakarta. Sayid Alwy AS, wartawan senior dari Kaltim hadir di seremoni itu. Di sana, dia bertemu teman sesama pemimpin redaksi. Amir Daud namanya, pemred surat kabar berbahasa Inggris. 

“Wartawan di Kaltim masih betul-betul alamiah. Bagaimana caranya, ya, supaya ada peningkatan?” Alwy bertanya kepada sahabatnya. Sampai suatu saat, jawaban pun didapat. Lewat LP3ES, program pelatihan wartawan dibuka. Wartawan dari Kaltim, dikirim ke sejumlah media nasional.

Dari Mimbar Masyarakat, koran mingguan milik Alwy, sejumlah nama disebar. Masdari Achmad (almarhum) yang pernah menjadi wartawan senior di RRI Samarinda, dikirim ke surat kabar Suara Karya. Syahrani Dansul, dikirim ke Sinar Harapan, dan Ibrahimsyah ke Kompas. Sementara si reporter muda yang sudah dianggap adik oleh Alwy, Dahlan Iskan, mendapat kesempatan magang selama tiga bulan di majalah Tempo. 

Sebelum ke Ibu Kota, Dahlan mengadakan kenduri, menikahi juita pujaannya, Nafsiah Sabri, gadis dari Loa Kulu, Kutai Kartanegara.

Selama di majalah itu, dunia jurnalistik Dahlan kian menjadi-jadi. Tulisannya yang berkarakter memberi warna tersendiri sehingga mengundang lirikan petinggi majalah yang pernah diberedel pada masa Orde Baru tersebut. 

Ketika masa magangnya selesai, Dahlan, kembali ke Borneo. Sebelum pulang, dia sempat ditawari menjadi reporter Tempo. 

Sesampainya di Samarinda, Dahlan kembali menjalankan tugasnya sebagai jurutinta di Mimbar Masyarakat. Alwy, sudah mulai aktif terjun di berbagai organisasi. Dia menjadi sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia dan beberapa saat kemudian naik sebagai ketua.

Namun begitu, tugas-tugasnya sebagai pemred tetap dijalankan. Di sela-sela kerja redaksi, Dahlan menemuinya. “Saya ditawari kerja di Tempo,” ungkap Dahlan, membuka pembicaraan. Alwy lantas menanyakan, berapa dia digaji di sana. “Seratus lima puluh ribu,” balas Dahlan. Waktu itu, sedan merek Toyota Corona masih Rp 1 juta. Sedangkan gaji Dahlan di Mimbar Masyarakat adalah Rp 50 ribu sebulan.

Alwy sejenak diam. Dalam sunyinya, dia memikirkan karier Dahlan. Sorotan mata yang tajam masih sama ketika Dahlan mengadukan masalahnya dulu yang dikejar militer. Sorotan itu menggelorakan rasa yang begitu kuat.

Alwy melihat sekumpulan tekad dan ketekunan jauh di dalam tatapannya. Sejenak kemudian, ketika kata-kata telah terangkai rapi menjadi kalimat di kepalanya, Alwy berkata, “Wah bagus itu. Demi masa depanmu, tinggalkan saya. Gajimu besar di sana. Sebesar kariermu nanti.”

Hari perpisahan tiba juga. Dahlan berangkat ke Jakarta dan memulai karier di Tempo. Baru dua tahun, Dahlan sudah dikirim ke Lebanon dan menyajikan reportase perang yang memukau. Dalam hatinya, Alwy merasa begitu bangga. Dalam hatinya pula dia berkata, “Anggaplah saya ini dipakai Tuhan sebagai tangan untuk merintis kader-kader dan calon wartawan berkaliber.”

  
***

KORAN adalah garis tangan Dahlan. Demikian pendapat Alwy ketika ditemui Kaltim Postdi kediamannya, belum lama ini di Jalan M Yamin, Samarinda. Ketika bersama Erick Samola menangani Jawa Pos dan menaikkan tirasnya berkali-kali lipat, Alwy semakin yakin hal itu. 

Selain Dahlan, ada beberapa nama lain yang pernah menjadi reporter Mimbar Masyarakat. Satu di antaranya, Rizal Effendi, yang kemudian menjadi koresponden Tempo pada medio 80-an. Rizal juga menjadi pemimpin redaksi Manuntung, koran yang dirintis Alwy bersama Wali Kota Balikpapan Zaenal Ariffin. Manuntung kemudian diakuisisi Jawa Pos dan namanya berganti menjadi Kaltim Post. Kini, Rizal sudah menjadi wali kota Balikpapan. 

Jika melihat kader-kader itu, Alwy tidak pernah menyesal melepas mereka dari Mimbar Masyarakat. “Saya berani melepas karena ingin melihat anak-anak muda itu maju. Biarlah saya seperti seorang guru SD yang tetap menjadi guru walaupun muridnya sudah menjadi orang hebat,” gumam Alwy pada suatu ketika.

Pun demikian, ayah empat anak itu tidak pernah mengaku-ngaku sebagai seorang guru. Justru dia yang sering dibanggakan Dahlan. Ketika suatu hari Alwy diajak ke ruang redaksi Jawa Pos di Graha Pena, Surabaya, di depan para redaktur, reporter, dan layouter, Dahlan berkata, “Ini Pak Alwy. Guru yang membimbing saya menjadi wartawan.” 

Suasana yang bagi Alwy sungguh mengharukan. Suasana yang membuat dia terkenang memoar 37 warsa silam. Suasana yang tidak pernah bisa dilupakannya. 



(4) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Bakat Jurnalis

Nyaris Ditabrak Iringan Jenazah, Eh, Dapat Tulisan Bagus


Banyak kisah menarik ketika Dahlan Iskan memulai karier jurnalistiknya di Samarinda. Seorang sahabat dekatnya, Aan R Gustam, menuturkan pengalamannya bersama Dahlan Iskan ketika menjadi wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat.


AAN R GUSTAM*, Samarinda 

SUATU siang di Samarinda pada 1976, Dahlan Iskan sedang mengendarai sepeda pancalnya. Sembari mengayuh menuju kantornya di bibir Sungai Mahakam, Dahlan melamunkan hasil wawancara dan berita yang akan dibuatnya. 

Ketika itu, wartawan Mimbar Masyarakat ini baru selesai mewawancarai seorang pejabat di Balai Kota Samarinda. Di saat melintasi Jalan Diponegoro, iringan orang yang membawa keranda berisi jenazah menuju ke arahnya.

Zikir dari puluhan mulut yang mengiringi jenazah rupanya tidak terdengar oleh Dahlan. Bahkan teriakan beberapa orang supaya dia menepi juga tidak didengarnya. Dahlan tetap asyik memikirkan rencana judul dan lead berita yang akan ditulisnya. Ketika mereka hampir berpapasan, salah seorang yang marah mengejar Dahlan dan memepetnya sambil berteriak, “Minggir..! minggir…!” Dahlan yang terkejut, kehilangan keseimbangan lalu terjerembab ke dalam parit plus ditindih sepedanya.

Dahlan kesal. Tapi ternyata dia tidak marah. “Saya malah jadi gembira dengan kejadian itu karena akhirnya memperoleh ilham untuk sebuah tulisan,” ucapnya. “Ketika itu, saya benar-benar sumpek karena belum punya bahan tulisan untuk rubrik Tajuk Rencana,” ceritanya lagi. Maka, hari itu Koran Mimbar Masyarakat menurunkan Tajuk Rencana berjudul: “Sudah Saatnya Samarinda Punya Mobil Jenazah”. 

Itu supaya masyarakat bisa memanfaatkannya dan tidak lagi berjalan kaki mengusung keranda di tengah keramaian lalu lintas, tulis Dahlan. 

***

DAHLAN Iskan ke Samarinda pada 1969. Usianya ketika itu masih 19 tahun. Di Kota Tepian, Dahlan sebenarnya ingin melanjutkan studinya. Di sini, tinggal kakak perempuannya yang menjadi guru agama. 

Ternyata kuliahnya berantakan. Dia malah asyik menggeluti dunia kewartawanan. Di Institut Agama Islam Negeri di Samarinda, Dahlan sempat tiga tahun kuliah. Dia juga tiga tahun belajar di Universitas 17 Agustus 1945, Samarinda. “Kalau dijumlah ‘kan jadi 6 tahun. Jadi saya ini sarjana juga,” selorohnya.

Sekitar tiga tahun di Samarinda, rambut Dahlan sudah gondrong. Padahal, dia keluaran pesantren dan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang terkenal militan.
Bakat jurnalistiknya semakin menonjol ketika ia berpolemik seru dengan wartawan senior Yunani Prawiranegara tentang rambut gondrong yang gencar dirazia aparat keamanan. Waktu itu, Dahlan sudah menjadi wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat Samarinda, pimpinan Sayid Alwy AS.

Yunani sebenarnya guru jurnalistik Dahlan. Tapi Dahlan tidak peduli. Dalam polemik itu, Dahlan tampil mewakili anak muda berambut gondrong yang merasa hak azasinya dirampas. Tentu saja dia juga mewakili dirinya sendiri. Ketika Dahlan pindah ke Surabaya, dua tahun kemudian Yunani juga ke Surabaya dan menjadi redaktur di Surabaya Post.

***

MAJALAH Tempo menugaskan Dahlan Iskan pindah ke Surabaya untuk menjadi Kepala Biro Jawa Timur. Setelah mengikuti program magang Mimbar Masyarakat (Dahlan Iskan dikirim ke Tempo selama tiga bulan), dia pun direkrut majalah tersebut. 

Waktu itu, tawaran ke Surabaya diterimanya dengan agak ragu. Ini adalah promosi luar biasa. Dari wartawan biasa di Samarinda melejit menjadi kepala biro di Surabaya pada 1978.
Tahun-tahun itu, ada lima koresponden Majalah Tempo yang sangat potensial dan harus segera diberi posisi yang memadai. Kelimanya pun akhirnya menjadi kepala biro. Mereka adalah Putu Setia yang menjadi jadi kepala Biro Jogjakarta, Rida K Liamsi (Riau), Sinansari Ecip (Makassar), Zakaria M Passe (Medan), dan Dahlan Iskan (Surabaya).

Dahlan memang berambisi meningkatkan karier jurnalistiknya. “Tapi Jawa Timur itu luas sekali. Seluk-beluk Surabaya saja saya tidak begitu tahu. Apa bisa sukses di sana,” kata Dahlan kepada saya. Meski Dahlan orang Jawa Timur kelahiran Takeran, Magetan, tapi tidak pernah ke mana-mana. “Di Surabaya itu yang saya tahu, ya Pelabuhan Tanjung Perak ketika naik kapal laut ke Samarinda,” katanya lagi.

Sepeninggal Dahlan ke Surabaya, saya menggantikan posisinya menjadi wartawan Majalah Tempo di Samarinda. Karena kesibukan saya di bisnis lain, posisi itu dipercayakan kepada Rizal Effendi (kini Wali Kota Balikpapan).

Dahlan, sejak di Samarinda adalah sosok ulet dan pekerja sangat keras. Kalau sudah asyik dengan pekerjaannya, dia jadi tidak peduli, bahkan terhadap dirinya. Otaknya selalu dijejali ide-ide yang bisa muncul kapan dan di mana saja. Dari sorot matanya yang tajam seperti tak henti-hentinya berpikir. Ia sangat mencintai profesinya yaitu dunia pers.

*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.


(5) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Kesederhanaan

Jaket Biru, Kacamata Hitam yang Kebesaran, dan Sepeda Motor Butut


Dahlan Iskan adalah sebuah kesederhanaan. Tanpa embel-embel ini itu, dia dikenal sebagai jurnalis yang menggunakan sesuatu seperlunya. Dahlan adalah Dahlan.

AAN R GUSTAM*

WARTAWAN muda ini dikenal urakan dan sekenanya dalam penampilan sehari-hari. Begitulah Dahlan sejak jadi wartawan Mimbar Masyarakat di dekade 70-an di Samarinda.
Kecuali pada acara sangat resmi, ke mana-mana dia gemar memakai sandal kulit. Kalau sekarang Dahlan memakai sepatu kets, itu merupakan suatu peningkatan. Diingatkan beberapa pejabat agar pakaiannya menyesuaikan jika ke Kantor Gubernur atau Balai Kota, itu sudah biasa. Tapi Dahlan adalah Dahlan.

Meski begitu, Dahlan hampir tidak pernah memakai baju kaus apalagi kaus oblong dalam bertugas. Ia gemar mengenakan baju safari ala pejabat penting. Jadi bisa dibayangkan penampilan Dahlan, berbaju safari tetapi bersandal kulit. Jika ditanya alasannya, ternyata bukan untuk gagah-gagahan mau dianggap sebagai orang penting. “Safari ini ‘kan kantongnya ada empat. Jadi saya mudah menyimpan kamera, buku catatan, pulpen dan bahkan kertas-kertas,” terang dia. Dahlan memang tidak biasa membawa tas seperti umumnya para wartawan.

Seingat saya, selain kamera poket, ada tiga barang lain yang sangat disayangi Dahlan. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, ketiga barang ini selalu dia bawa. Ketiganya adalah jaket kain berwarna biru yang di bagian belakang ada tulisan Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Kedua, kacamata hitam besar yang sama sekali tidak pas dengan bentuk mukanya yang tirus itu. Ketiga, benda sangat vital, yaitu sepeda motor bebek butut warna abu-abu kombinasi hitam.

Jaket ITB yang oleh anak-anak muda biasa disebut hudi itu (karena ada kain penutup kepala di bagian belakang), didapat Dahlan dari seorang teman wartawan Majalah Tempo. Dahlan sangat bangga dengan jaket itu. Ketika saya mengunjungi rumah kontrakannya di Gubeng Kertajaya yang berdinding gedek (anyaman bambu) beberapa bulan setelah dia pindah ke Surabaya, jaket itu masih ada tapi lusuh sekali. Kehilangan warna. 

Tapi kacamata besar hitamnya hilang. Tertinggal di sebuah kantor ketika dia mewawancarai seorang sumber di Samarinda.

Yang saya tidak habis pikir, dia sangat menyesali kehilangan itu. Dia selalu mengingatnya bak kehilangan kacamata mahal bermerek. Padahal, itu kacamata murah yang dia beli di pedagang kaki lima. Beberapa kali dia bilang pada saya seakan minta pendapat. “Sayang ya, padahal bagus,” ucapnya. 

Tapi saya tak pernah berkomentar karena kacamata itu memang jelek sekali dan sangat tidak cocok dengan wajahnya. Bayangkan saja, Dahlan harus ekstra-sibuk membetulkan posisi kacamata bila ia sedang memakainya. Kacamata hitam itu kebesaran dan kedodoran.
Kemudian sepeda motor bebek. Kendaraan ini dibeli dari hasil keuntungan Mimbar Masyarakat yang terbit dari mingguan menjadi harian selama sepuluh hari. 

Pada 1976, Samarinda menjadi tuan rumah MTQ tingkat nasional. Kami bertiga, redaktur di koran itu, yakni saya, Dahlan dan Ibrahimsyah Rahman (sekarang redaktur di Harian Kompas), bersepakat meningkatkan penerbitan menjadi harian selama berlangsungnya kegiatan musbaqah.

Keuntungan dari terbit harian itu sekitar Rp 600 ribu lalu dibelikan sepeda motor bebek bekas merek Honda. Karena Dahlan paling senior dan dia di posisi redaktur pelaksana, dialah yang menggunakannya. Setelah beberapa bulan, motor itu ngadat. Setelah diusut, ternyata bukan bensin yang habis tapi oli mesin. Rupanya Dahlan tidak pernah memeriksa oli mesin. Bayangkan, ketika mesin dibuka, pelumasnya hanya tinggal beberapa sendok.

Sebelum Dahlan ke Surabaya, motor bebek ini ditahan polisi di Samarinda karena surat-suratnya juga tidak beres alias tidak pernah diurus. Beberapa kali Dahlan sempat menelepon dari Surabaya agar motor itu diurus tapi tidak ada yang mau mengurusnya. Begitulah, nasib sepeda motor Dahlan. Berakhir menyedihkan di kantor polisi.

***

DAHLAN tidak pernah bercita-cita yang muluk-muluk. Kehidupan dan kariernya menggelinding begitu saja. Yang di benaknya hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja dengan baik. Kegigihannya menggebrak masa depan. Dia tidak perlu moto atau kata-kata mutiara seperti dimiliki kebanyakan orang-orang sukses. 

Selain orang tua dan istrinya, orang yang paling dihormati Dahlan adalah guru mengajinya dan Mas Gun (Goenawan Mohammad, bos Dahlan di Majalah Tempo). Mas Gun bagi Dahlan adalah panutan. Baik dalam ilmu jurnalistik maupun moralitas. Kesederhanaan kehidupan yang dilakoni Dahlan pun banyak diperolehnya dari Mas Gun.

Dan media massa yang paling keras mengharamkan wartawannya menerima uang atau bingkisan saat bertugas adalah Majalah Tempo. Awal di Majalah Tempo. Dahlan pernah diuji diam-diam oleh media itu dalam masalah menerima amplop dari sumber berita. Dan dia lulus dalam ujian itu. 

Rasa hormat Dahlan terhadap Mas Gun dalam kesederhanaan bisa ketika Dahlan sudah menangani Jawa Pos. Pada saat oplahnya sudah 200 ribu eksemplar, Jawa Pos punya kantor perwakilan bagus di Jakarta serta dua anak perusahaan pers, Cahaya Siang di Manado dan Kaltim Post di Balikpapan. 

Jam terbang Dahlan semakin tinggi. Namun turun-naik pesawat terbang, Dahlan tetap bersandal kulit atau sepatu kets serta menenteng kantong plastik. Itu tempat menyimpan beberapa lembar pakaian. Seorang kolega bisnis yang acap memperhatikan sikap Dahlan ini menegurnya.

 “Sudah jadi bos surat kabar, Anda kok masih bawa kantong plastik. Pakai tas hitam, dong,” kata koleganya itu. Dahlan tersenyum dan menjawab, “Ini juga cukup. Enggak enak sama Mas Gun.” Begitulah dia. Dahlan adalah Dahlan. (bersambung)


*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.
  


(6-habis) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Sang Pendamping

Sama-sama Aktivis, Sama-sama Jualan Koran

Tidak lengkap mengisahkan Dahlan Iskan di Samarinda pada dekade 70-an tanpa menyebut nama Nafsiah Sabri. Perempuan asal Loa Kulu, Kutai Kartanegara ini adalah ibu dari anak-anak Pak Menteri.



AAN R GUSTAM*


PEREMPUAN yang biasa saya panggil ‘kakak’ ini setia mengikuti Dahlan dari awal kehidupan yang sangat pahit. Setelah menikah, mereka menyewa rumah sangat sederhana di Samarinda. 

Seluruh tiang rumah sewaan ini menancap di Sungai Karang Mumus, anak Sungai Mahakam. Hanya teras rumahnya yang menempel di bibir jalan raya. Tak ada perabotan memadai di rumah itu. Kasur tempat mereka tidur pun harus digulung kalau siang hari agar rumah tanpa kamar itu tetap terasa lebar. 

Nafsiah adalah seorang guru SD. Gajinya banyak menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika lahir anak pertama mereka, Azrul Ananda --kini presiden direktur Jawa Pos, mereka bisa menyewa rumah yang ada kamarnya meski di gang sempit. 

Bagaimana keduanya bertemu? Nafsiah dan Dahlan sama-sama aktivis di Pelajar Islam Indonesia. “Bapak Rully (Azrul) itu dulu tidak bisa pacaran. Aku ini dulu yang habis-habisan yang memacari dia,” cerita Nafsiah sembari terkekeh-kekeh.

Setelah direkrut Majalah Tempo, pada akhir dekade 1970-an, Dahlan pindah ke Surabaya dan menjadi kepala biro Jawa Timur. Dahlan sering terlihat tidak sabar. Dia seperti  ingin segera menggulung dunia. Majalah Tempo yang terbit sekali seminggu membuat Dahlan merasa banyak menganggur. Sementara materi berita di Jawa Timur banyak sekali.

Wartawan seproduktif Dahlan tentu gelisah. 

Diam-diam, Dahlan menulis berita untuk sebuah media di Surabaya. Bahkan berita-berita yang ditolak Tempo ia kirim ke media itu. Dia pernah ditegur Tempo dengan sikapnya. Sejak di Samarinda, keinginan Dahlan memiliki koran harian memang besar sekali.




AWAL MULA JAWA POS

Potensi dan semangat Dahlan inilah yang menjadi salah satu pertimbangan manajemen Tempo membeli harian Jawa Pos. Dengan modal awal Rp 40 juta, lima redaktur potensial, 5.000 eksemplar oplah tiap hari, ditambah spirit dan optimisme tinggi, pada awal dekade 1980-an Dahlan bergerak menjajakan Jawa Pos dengan manajemen baru. 

Ketika Jawa Pos terus merangkak naik, Dahlan menawari saya membantu menangani di Malang, Jawa Timur. Dengan banyak pertimbangan, saya memilih sekaligus membujuk Dahlan mendirikan harian di Kaltim. Tentu permintaan saya ini bukan hal yang mudah karena Jawa Pos masih perlu investasi besar. Ketika itu, Kaltim memang masih belum diperhitungkan dari segi bisnis surat kabar. Tapi dengan iktikad baik dan ingin membalas budi kepada masyarakat Kaltim, Dahlan akhirnya bersedia mendirikan surat kabar harian yang akhirnya diberi nama ManuntunG pada 1988. 

Toh, keputusan Dahlan itu tidak salah. Dari seluruh anak perusahaan Jawa Pos, media yang kini bernama Kaltim Post itu merupakan perusahaan paling sukses.

Kembali ke Nafsiah, pada tahun-tahun pertama Dahlan menangani Jawa Pos, istrinya itu selalu bolak-balik dari rumah ke kantor membawakan baju ganti dan makanan. Dahlan seringkali tidak sempat pulang. Biarpun ketika itu sudah punya mobil, Nafsiah tidak bisa memakai mobil itu dengan leluasa karena dipakai mengangkut koran Jawa Pos

Selain itu, Nafsiah diminta Dahlan menjadi agen Jawa Pos untuk daerah Rungkut Tenggilis Mejoyo, tempat tinggal mereka. Selesai salat subuh, Nafsiah nongkrong di teras, melipat dan menghitung jumlah koran.

Nafsiah sebenarnya ingin kembali mengajar di sekolah, tapi Dahlan tidak mengizinkan. Bahkan perempuan ini tidak bisa lagi menemukan ijazah dan surat-surat penting lainnya. Ketika ijazah itu ia tanyakan kepada Dahlan.  Jawaban Dahlan, “Sudah saya bakar.” Tapi Nafsiah tidak yakin suami yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Bapak Rully (Azrul)’ itu telah membakar ijazahnya. Curiganya, surat-surat penting Nafsiah hanya disembunyikan,” tuturnya.

Meski bersuara lantang dan tegas, perempuan kelahiran Samarinda ini tetap lembut, humoris, dan penuh perhatian. Saat Dahlan hendak turun kerja, ia seringkali memanggil dan mengejar Dahlan sampai ke pekarangan rumah untuk sekadar membetulkan kerah baju yang tidak teratur. Kadang, dia menyisir rambut Dahlan yang awut-awutan. Saya pernah berseloroh, “Untung saja Mas Dahlan tidak pakai sepatu. Kalau tidak, kakak harus tambah kerjaan ekstra, membetulkan tali sepatunya.”

Sampai mereka menempati rumah lumayan bagus di Rungkut, Surabaya, memperhatikan kerapian Dahlan itu tetap dilakukan. Tentu tidak ada seorang pun yang melebihi kecemasan Nafsiah ketika diputuskan hati Dahlan harus diganti karena serangan kanker yang ganas. Dan alhamdulillah, semuanya berjalan baik.

Berbekal keuletan, ketabahan, keteguhan dan kesabaran hati, tidak berlebihan kalau saya sebut Nafsiah merupakan salah satu faktor sangat penting dalam menentukan sukses Dahlan Iskan. 

Di luar itu, sebagai perempuan Nafsiah acapkali digoda rasa cemburu. Maklum, Dahlan adalah sosok yang populer bak selebriti. Namun dengan iman dan pemikiran muslimahnya, Nafsiah mampu mengatasi goncangan perasaannya.

TIDAK BERUBAH

Membesarkan Jawa Pos bagi Dahlan tidaklah mulus-mulus amat. Koran ini beberapa kali didemo masyarakat disebabkan pemberitaannya. Dari beberapa demo, Dahlan menemukan kesamaan yang aneh. Ia kemudian menceritakan kembali demo-demo yang terjadi di kantor redaksi Jawa Pos

Pertama Jawa Pos didatangi pengunjuk rasa karena berita penghapusan ‘becak’ di Surabaya. Kedua, didemo karena berita soal ‘babi’. Kemudian didemo lagi oleh ‘banser’ karena berita tentang Gus Dur. Selain itu, Dahlan tidak pernah sukses menangani ‘bola’ ketika menjadi manajer Mitra Surabaya. “Saya ini sepertinya tidak begitu cocok menangani persoalan yang diawali huruf B,” candanya.

Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut Dahlan ‘autodidak brilian bertangan dingin’. Sukses yang dicapainya hingga sekarang merupakan jerih payah keuletan, ketekunan, kejujuran, dan nasib baik. 

Meski Dahlan sudah jadi orang sukses dan penting secara nasional, penampilan dan karakternya tidak banyak berubah. Komitmen moralnya terhadap orang kecil tetap konsisten. Di usianya yang sudah 61 tahun, dengan tanggung jawab pekerjaan yang makin luas, Dahlan tetap pekerja keras dan produktif menulis. 

Kepada teman-temannya di daerah yang dulu dibinanya menjadi wartawan, ia tetap hangat kalau bertemu. Saya kira, tidak banyak yang berubah dari Dahlan, kecuali dua hal: isi dompet dan status sosialnya. (***)


*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.

Diposkan oleh Felanans Mustari di 06.51