(1) Dahlan Iskan
Tempo Doeloe di Samarinda: Anjangsana Penuh Makna
Demonstrasi Malari dan Berkenalan
dengan Dunia Jurnalistik
Awam diketahui bahwa bekas bos besar Jawa Pos Group yang
kini Menteri BUMN, Dahlan Iskan, juga seorang jurnalis. Sebuah profesi yang
mulai ditekuninya ketika kuliah di Samarinda. Bagaimana cerita lampau si tokoh
yang bahkan kuliahnya tak lulus itu di Kota Tepian? Kaltim Post menguliknya
lewat penuturan sumber yang dahulu dekat dengan Sang Menteri.
PEMUDA yang agak ceking itu mengenakan paduan celana kain dan
kaus berkerah yang menutupi sebagian kulit sawo matangnya. Tatapan mata tajam
tersorot dari wajah bulatnya. Sedikit tirus, tonjolan tulang di kedua pipinya
kokoh di bawah kening yang tertutup poni.
Telapak kakinya yang mengenakan sandal pelan-pelan melangkah ke
seorang yang lebih tua. Sayid Alwy AS, demikian orang yang sedang didekati
pemuda itu. Badan Alwy besar dan tegap. Kumisnya tebal dan kulitnya agak gelap.
Di sebuah kantor surat kabar di Samarinda pada Februari 1974,
pria yang didekati itu sadar. Sejurus kemudian dia menyapa si pemuda, “Eh, Lan,
apa kabar?”
Pemuda bernama Dahlan Iskan itu tak segera menjawab. Tetapi dari
rautnya, ada sesuatu yang hendak disampaikan. Setelah beberapa lama dia membuka
suara. “Kakak, saya dikejar-kejar militer,” katanya, berkeluh kesah. Mendengar
itu, Alwy kaget. Selaksa tanya bergelimang di benak jurnalis itu.
Alwy heran, bagaimana bisa, Dahlan, mahasiswa Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Samarinda itu sampai berurusan dengan militer. Bagaimana
bisa, pemuda di hadapannya yang sudah dia anggap adik itu tiba-tiba menjadi
dicari-cari.
Tetapi pikirannya segera melayang ke masa lampau. Alwy tahu,
Dahlan memang ekstrem. Kira-kira, seekstrem Nurcholis Madjid, tentang sejumlah
pandangannya tentang agama. Itu dirasakan Alwy, ketika mereka pertama kali
berkenalan enam bulan sebelum anjangsana ini di sebuah ruangan di samping
Gedung Nasional. Sekarang, lokasi gedung itu di Jalan Jenderal Sudirman,
Samarinda. Waktu itu, Alwy dan Dahlan sama-sama mengikuti sebuah diskusi agama.
Usai perkenalan itu, Alwy mulai ingat, jika Dahlan aktif di
beberapa organisasi seperti Pelajar Islam Indonesia. Bukan organisasi terlarang
pada masa itu. Lantas, dari mana juntrungannya sampai dikejar-kejar militer?
“Kok, bisa?” Akhirnya, kalimat tanya yang dari tadi tertahan keluar juga.
“Malari,” jawab Dahlan singkat. Tak lama kemudian, pemuda itu bercerita panjang
lebar.
***
MALARI, sebuah akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari. Momentum
ketika unjuk rasa besar-besaran pada 15 Januari 1974, saat Perdana Menteri
Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia dan diterima Presiden Soeharto.
Di Jakarta, Hariman Siregar menjadi tokoh penggerak demonstrasi
ketika kedatangan pemimpin Negeri Matahari Terbit itu. Demonstran mengusung
perjuangan antimodal asing, tema yang santer beberapa tahun belakangan.
Momentum kunjungan perdana menteri lalu membuat Jakarta membara. Kobaran api
mulai merebak di penjuru ibu kota. Panasnya terasa ke seluruh penjuru negeri
termasuk Samarinda.
Dahlan bersama beberapa kawan sekampusnya enggan ketinggalan.
Mereka ikut mengadakan aksi. Di antara beberapa teman, terdapat nama Syaiful
Teteng yang kemudian menjabat sekprov Kaltim pada dekade 2000-an, dan,
Syarifuddin Prawiranegara, seorang aktivis masa itu.
Dahlan dan kawan-kawan lantas berdemonstrasi kecil-kecilan.
Selembar bendera hitam mereka kibarkan di Tugu Nasional yang sekarang persis di
sebelah Kantor Pusat BNI 46 Samarinda di Jalan Pulau Sebatik.
Di Ibu Kota, Hariman Siregar sudah ditangkap penguasa Orde Baru.
Di Samarinda, teman-teman Dahlan juga dikerangkeng. Militer di Balikpapan sudah
mendaftar mereka-mereka yang berdemonstrasi pada siang 15 Januari itu.
Tinggallah nama Dahlan sebagai yang terakhir dalam senarai pencarian.
“Oh, begitu rupanya. Memangnya kenapa, kok ikut-ikutan protes
soal ekonomi dan politik?” tanya Alwy kepada Dahlan. Dengan berapi-api, yang
ditanya menjawab. “Wah, kami ini sebagai anak muda harus menegakkan keadilan,”
katanya penuh semangat, lalu melanjutkan, “Itu namanya idealis.”
Segera otak Alwy berputar lagi. “Kalau kamu begini, ya pasti
ditangkap. Nah, mau tetap jadi aktivis? Mau idealis? Mau mengkritik tetapi
tidak akan ditangkap? Ada caranya,” kata Alwy yang lahir di Singkang, Sulawesi
Selatan, 27 Desember 1939 itu.
“Bagaimana caranya?” Dahlan yang kadung penasaran balik
bertanya. Sembari mengulas senyum, Alwy menjawab, “Ikut saya. Kamu jadi
wartawan.”
***
ALWY adalah seorang jurnalis di Kaltim. Belum banyak pada waktu
itu. Cerita panjang dia bergumul dengan dunia ini dimulai ketika mendirikan
Surat Kabar Harian Mimbar Mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarmasin, pada pertengahan 1960-an. Di kediamannya di Jalan M Yamin,
Samarinda, Alwy bercerita panjang kepada Kaltim Post, beberapa waktu lalu.
Alwy yang menghabiskan masa kecil di Samarinda, menyelesaikan
kuliah ekonominya di Unlam. Di sana, dia mulai mengenal dunia jurnalistik
ketika menjadi penyiar RRI Banjarmasin selama lima tahun.
Pernah suatu kali, ketika partai partai komunis menjalankan
Gerakan 30 September 1965, Alwy harus mendekam di balik dinginnya jeruji.
Gara-garanya, dia memberitakan seorang anggota partai komunis yang lolos dari
tahanan. Sumber berita dari pihak militer dirahasiakan, membuatnya menjadi
incaran penguasa.
Di pengujung Orde Lama, berita-berita demikian benar-benar
sensitif. Alwy yang baru setahun menjadi sarjana muda ditangkap bersama seorang
kawannya bernama Anang Adenansi (almarhum) yang juga aktivis. Keduanya ditahan
di Markas Corps Polisi Militer di Banjarmasin.
Kabar penahanannya segera merebak. Banyak kerabat bersimpati.
Mulai civitas Unlam sampai para taulan. Perhatian terus datang. Setiap hari,
Alwy dan Anang dikirimi banyak makanan dari luar. Ada soto, nasi kuning, hingga
ayam bakar. Rutin tiga kali sehari selama 40 hari. Saking banyaknya, makanan
itu tak pernah bisa mereka habiskan. Sebagian diberikan kepada penjaga markas.
Ketika 40 hari berlalu, Alwy dan Anang dibebaskan. Keduanya
sangat bahagia, tetapi tidak bagi para tentara yang berjaga di Markas CPM. Para
penjaga itu agak bersedih karena rupanya, tidak ada lagi antar-mengantar
konsumsi yang biasanya tandas di perut mereka.
***
KARIER jurnalistik Alwy terus melesat. Selepas keluar dari
penjara, dia mendirikan Surat Kabar Harian Mimbar Mahasiswa di Unlam. Alwy yang
menikahi seorang perempuan dari Berabai, Kalsel, bernama Suwinnah –sekarang
guru besar di Universitas Mulawarman, Samarinda–, juga membentuk Ikatan Pers
Mahasiswa Indonesia. Ketika sedang aktif-aktifnya itulah, Alwy berkenalan
dengan Abdoel Wahab Sjahranie, seorang petinggi militer di Kalsel.
Memasuki 1967, Sjahranie ditunjuk Presiden Soeharto menjadi
Gubernur Kaltim. Pada masa itu, belum ada surat kabar yang senapas Orde Baru di
Bumi Etam –sebutan lain Kaltim. Sebelumnya, sudah ada koran-koran yang masih
berusaha menyesuaikan diri dengan iklim Orde Baru. Rata-rata media cetak itu
terbit mingguan di Balikpapan dan Samarinda, seperti Meranti, Wisma Berita,
Pacific, BS Djaya, dan lainnya.
Gubernur Kaltim Abdoel Wahab Sjahranie pun menginginkan ada
kehidupan pers yang bercita rasa Orde Baru di wilayahnya. Hingga suatu hari di
pengujung 1970, Sjahranie berkata kepada Alwy, “Kenapa tidak membuat koran di
kampung halaman saja?” Sebuah ajakan dari Gubernur yang segera disetujuinya.
Alwy pun pulang kampung ke Samarinda dan mulai mendirikan surat
kabar. Sembari menghidupkan surat kabar, Alwy aktif berorganisasi. Dia menjadi
sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kaltim. Oleh Gubernur
Sjahranie, Alwy mendapat kantor untuk sekretariat KNPI di Jalan Hidayatullah
–kantor itu didera musibah kebakaran, Idulfitri tahun ini.
Ketika menjadi ketua KNPI beberapa tahun berikutnya, sekretariat
itu pun berfungsi ganda sebagai kantor surat kabar milik Alwy, Mimbar
Masyarakat, tempat pertama kali Dahlan Iskan menggeluti profesi “penyambung
lidah rakyat.” (bersambung)
(2) Dahlan Iskan
Tempo Doeloe di Samarinda: Sandal Jepit si Idealis
”Jangan Idealis Jurnalis Dicampuri Urusan Bisnis!”
Dahlan Iskan bilang, semua petinggi PLN dulunya sama
seperti dirinya yang demonstran jalanan. Ketika duduk di posisi penting,
idealisme itu mesti dijaga. Ini memang soal idealis dan begitulah dia sejak
dahulu. Dahlan Iskan bilang, tetap memakai sepatu kets walau sudah jadi
menteri. Ini soal kesederhanaan dan begitulah dia sejak dahulu.
KANTOR media yang bangunannya tidak mirip kantor itu berwujud di
Jalan Hidayatullah, Samarinda. Sayid Alwy AS adalah pengelola surat kabar
mingguan bernama Mimbar Masyarakat tersebut. Dia baru saja “merekrut” wartawan
muda bernama Dahlan Iskan pada 1974.
Kantor Mimbar Masyarakat juga menjadi sekretariat Komite
Nasional Pemuda Indonesia. Alwy juga ketua organisasi itu. Dulunya, bangunan
bercat putih ini adalah mes pemerintah. Bentuknya memanjang ke belakang dengan
sederet kamar. Di halamannya yang jembar terparkir sepeda para wartawan.
Ruangan paling depan diubah menjadi kantor. Sebuah meja tata
usaha dan kasir yang mengurus keuangan di bagian paling depan. Sedikit ke
dalam, meja pemimpin redaksi yang tak lain adalah Alwy, bersanding dengan meja
wartawan.
Zaman itu, mencetak koran bukan perkara mudah. Huruf-huruf
disusun dengan alat tempel aksara bernama letter. Sedangkan negatif
foto dikirim ke Surabaya demi mendapatkan citra sempurna. Waktunya bisa
berminggu-minggu. Walhasil, Mimbar Masyarakat tidak pernah menampilkan foto update.
Alwy mengakalinya dengan memasang foto dokumentasi yang kira-kira berkaitan
dengan berita apa yang akan diterbitkan di edisi terbaru.
Untuk mencetak koran, Alwy harus mengirim salinan halaman ke
Percetakan Negara di Balikpapan. Jalan Soekarno Hatta yang sekarang
menghubungkan Samarinda dan Balikpapan, belum ada waktu itu. Untuk ke Kota
Minyak, harus naik kapal ke muara Sungai Mahakam lalu mendarat di kawasan
Handil, Kutai (sekarang Kutai Kartanegara). Dari situ, dilanjutkan perjalanan
darat sekitar 60 kilometer ke Balikpapan.
Kendati sulit mencetak surat kabar, Mimbar Masyarakat sebagai
satu-satunya media cetak yang berani mengkritik, laku keras di Samarinda.
Dalam tempo singkat, mingguan dengan 10 halaman zebra alias hitam putih selebar
tujuh kolom itu oplahnya mencapai tiga ribu.
Editorial yang dibuat Alwy, menjadi sukaan Gubernur Kaltim
Abdoel Wahab Sjahranie. Isinya seputar permasalahan provinsi. Dan Alwy menjadi
sangat dekat dengan Gubernur yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit
terbesar di Kaltim itu. Boleh dibilang, dia adalah teman berdiskusi sang
pemimpin.
Dahlan kemudian bergabung di Mimbar Masyarakat setelah dia
mengeluh kepada Alwy karena dikejar-kejar militer dalam demonstrasi Malapetaka
Lima Belas Januari (Malari) di Samarinda. Sudah ada dua puluh wartawan di media
itu ketika Dahlan yang mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Samarinda ini
bergabung pada 1974. Redaktur pelaksananya waktu itu Almarhum Syuhainie
Zakaria.
Di situ, Alwy menyampaikan dasar-dasar jurnalistik seperti kode
etik, kelengkapan unsur berita, kejelasan sumber, mengolah lead,
sampai keberimbangan berita kepada Dahlan. Tidak perlu waktu lama memindah-ilmu
karena Dahlan memiliki naluri jurnalistik di atas rata-rata.
***
ALWY dan Dahlan datang ke Gubernuran Kaltim, beberapa bulan
setelah profesi wartawan melekat pada pemuda itu. Mereka menemui Letkol Sayid
Syekh, kepala Biro Sosial dan Politik Sekretariat Provinsi di sebuah ruangan di
lantai dua. Sayid adalah kenalan lama Alwy.
“Tolong, Pak, kawan saya ini jangan lagi dicari-cari (militer),”
kata Alwy, mengutarakan maksudnya. Dahlan yang di ruangan itu mimiknya datar.
Tidak ada ekspresi sedikit pun. “Soal Malari. Dia sekarang ikut saya jadi
wartawan. Kalau ada apa-apa, saya yang jadi jaminan,” lontar Alwy lagi (tentang
Malari, silakan baca bagian pertama tulisan ini).
Mendengar itu, Sayid sejenak terdiam. Sebagai teman lama, dia
tahu benar siapa Alwy. Dia percaya benar sahabatnya itu. “Baik. Saya sampaikan
ke atasan,” kata Sayid, mengabulkan permintaan Alwy.
Setelah bercengkerama tentang beberapa hal lainnya, kedua
jurnalis itu ke luar ruangan. Alwy masih ingat benar, tidak ada yang berubah
dari ekspresi Dahlan. Rautnya tetap biasa. Tapi dalam hatinya Alwy tahu, pemuda
yang dianggap adiknya itu mendapatkan sebuah kelegaan.
***
“BESOK, kita bertemu Gubernur Sjahranie,” ajak Alwy,
pemimpin redaksi surat kabar mingguan Mimbar Masyarakat. Mata Dahlan, wartawan
muda yang mendengar ajakan itu berbinar.
Sebagai wartawan senior di Samarinda, Alwy kerap bertemu dengan
Sjahranie. Banyak hal, terutama pembangunan di Kaltim yang mereka diskusikan.
Dalam setiap perjalanan Gubernur ke pedalaman, Alwy tidak akan tidak turut
serta.
Di masa Sjahranie pula sejumlah proyek besar dimulai. Sjahranie
adalah penggagas Proyek Jalan Kalimantan (Projakal) mulai perbatasan Kalimantan
Selatan di Paser hingga tembus Samarinda.
Gubernur itu juga menyediakan berhektare lahan bagi Universitas
Mulawarman, di Gunung Kelua, Samarinda. Dia menggagas agar TVRI, stasiun
televisi pemerintah yang sebelumnya berpusat di Balikpapan, bisa siaran di
Samarinda. Termasuk pula, lahan rumah sakit umum yang kini memakai nama sang
Gubernur, di Jalan Dr Soetomo.
Hari itu, Alwy mengajak Dahlan berdiskusi ringan dengan
Gubernur. Sampai tiba hari pertemuan yang dinanti, sesuai janji,
Dahlan menemui Alwy di kantor Mimbar Masyarakat pada suatu pagi. “Saya sudah
siap, Kak,” kata Dahlan, seolah ganti mengajak Alwy supaya cepat-cepat ke Lamin
Etam --kantor Gubernur, di Jalan Gajah Mada.
“Baik. Mari kita berangkat,” jawab Alwy. Baru saja melangkah ke
luar kantor, mata Alwy tertuju ke kaki reporter mudanya itu. Dia menemukan ada
yang gasal. “Enggak salah, kamu? Mau ketemu Gubernur pakai sandal jepit? Ganti
pakai sepatu dulu, baru kita berangkat,” sergah Alwy. Walhasil, rencana bertemu
Gubernur gagal hari itu. Pertemuan pun berganti beberapa hari setelahnya.
***
DETIK berganti menit, jam bersekutu dengan hari, dan bulan
bersalin dalam tahun. Pasangan guru-murid di dunia jurnalistik itu kian rekat.
Alwy begitu nyaman dengan Dahlan yang ceplas-ceplos tetapi sangat tekun dan
bersemangat mencari berita.
Pada suatu siang yang terik di Samarinda, Dahlan berkeliling
kota. Sebagai reporter andalan, dia tidak ditempatkan di suatu pos. Memang pun,
tidak ada pos-pos tertentu bagi wartawan di masa itu. Sebab, Samarinda tidak
sebesar sekarang sehingga masih bisa mengelilinginya dengan bersepeda dalam
waktu tak terlampau lama.
Dahlan memburu berita di rumah sakit dan tidak menemukan
kejadian. Beranjak ke kantor polisi dan Gubernuran, tiada hal yang layak untuk
disajikan di surat kabar. Akhirnya, dia menuju kantor Mimbar Masyarakat.
Otaknya mulai berpikir apa kiranya yang akan diketik.
Tetapi jiwa jurnalis Dahlan yang waktu itu telah “pensiun” dari
kuliahnya sangat kuat. Dia mendapat inspirasi. Menghadapi mesin ketik, Dahlan
segera menulis sebuah berita. Judulnya kira-kira seperti ini, “Tumben, Tidak
Ada Kejadian di Samarinda”.
Di suatu malam lainnya, Alwy dan Dahlan asyik bercengkerama.
Percakapan yang tidak terlampau serius sampai ketika Alwy melontarkan kalimat,
“Ding, baik jika selain mencari berita, cari jugalah iklan dan pelanggan
untuk koran kita.” (Ding, panggilan kepada adik dalam bahasa
Banjar).
Mendengar itu, Dahlan spontan menyanggah. Dia menolak
mentah-mentah. “Ini yang saya tidak setuju. Jangan wartawan dengan idealismenya
dicampuri urusan bisnis. Jangan sekali-sekali seperti itu,” timpal Dahlan,
kemudian melanjutkan dengan suara yang makin meninggi, “Nanti, jika menerima
sesuatu (dari narasumber), hasil wawancara tidak lagi murni!”
Alwy tidak membalas lagi argumen itu. Dalam hatinya dia menyesal
menyampaikan hal itu sekaligus bangga. Bangga karena Dahlan yang direkrut
dengan keidealisannya masih seidealis kala dia dikejar-kejar militer dulu. “Oh,
begitu,” jawab Alwy, singkat. Sesingkat pembicaraan yang akhirnya usai pada
malam itu.
(3) Dahlan Iskan
Tempo Doeloe di Samarinda: Sebuah Kerelaan
Program Magang yang Jadi Pintu Gerbang
Setiap orang punya jalan. Setiap orang punya garis
kehidupan. Tapi tak semua orang mampu membukakan jalan dan garis kehidupan itu
bagi seorang lainnya, seperti yang dilakukan Alwy kepada Dahlan Iskan.
LEMBAGA Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi
Sosial baru saja didirikan pada 1975 di Jakarta. Sayid Alwy AS, wartawan senior
dari Kaltim hadir di seremoni itu. Di sana, dia bertemu teman sesama pemimpin
redaksi. Amir Daud namanya, pemred surat kabar berbahasa Inggris.
“Wartawan di Kaltim masih betul-betul alamiah. Bagaimana
caranya, ya, supaya ada peningkatan?” Alwy bertanya kepada sahabatnya. Sampai
suatu saat, jawaban pun didapat. Lewat LP3ES, program pelatihan wartawan
dibuka. Wartawan dari Kaltim, dikirim ke sejumlah media nasional.
Dari Mimbar Masyarakat, koran mingguan milik Alwy, sejumlah nama
disebar. Masdari Achmad (almarhum) yang pernah menjadi wartawan senior di RRI
Samarinda, dikirim ke surat kabar Suara Karya. Syahrani Dansul, dikirim ke Sinar
Harapan, dan Ibrahimsyah ke Kompas. Sementara si reporter muda yang sudah
dianggap adik oleh Alwy, Dahlan Iskan, mendapat kesempatan magang selama tiga
bulan di majalah Tempo.
Sebelum ke Ibu Kota, Dahlan mengadakan kenduri, menikahi juita
pujaannya, Nafsiah Sabri, gadis dari Loa Kulu, Kutai Kartanegara.
Selama di majalah itu, dunia jurnalistik Dahlan kian
menjadi-jadi. Tulisannya yang berkarakter memberi warna tersendiri sehingga
mengundang lirikan petinggi majalah yang pernah diberedel pada masa Orde Baru
tersebut.
Ketika masa magangnya selesai, Dahlan, kembali ke Borneo.
Sebelum pulang, dia sempat ditawari menjadi reporter Tempo.
Sesampainya di Samarinda, Dahlan kembali menjalankan tugasnya
sebagai jurutinta di Mimbar Masyarakat. Alwy, sudah mulai aktif terjun di
berbagai organisasi. Dia menjadi sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia
dan beberapa saat kemudian naik sebagai ketua.
Namun begitu, tugas-tugasnya sebagai pemred tetap dijalankan. Di
sela-sela kerja redaksi, Dahlan menemuinya. “Saya ditawari kerja di Tempo,”
ungkap Dahlan, membuka pembicaraan. Alwy lantas menanyakan, berapa dia digaji
di sana. “Seratus lima puluh ribu,” balas Dahlan. Waktu itu, sedan merek Toyota
Corona masih Rp 1 juta. Sedangkan gaji Dahlan di Mimbar Masyarakat adalah Rp 50
ribu sebulan.
Alwy sejenak diam. Dalam sunyinya, dia memikirkan karier Dahlan.
Sorotan mata yang tajam masih sama ketika Dahlan mengadukan masalahnya dulu
yang dikejar militer. Sorotan itu menggelorakan rasa yang begitu kuat.
Alwy melihat sekumpulan tekad dan ketekunan jauh di dalam
tatapannya. Sejenak kemudian, ketika kata-kata telah terangkai rapi menjadi
kalimat di kepalanya, Alwy berkata, “Wah bagus itu. Demi masa depanmu,
tinggalkan saya. Gajimu besar di sana. Sebesar kariermu nanti.”
Hari perpisahan tiba juga. Dahlan berangkat ke Jakarta dan
memulai karier di Tempo. Baru dua tahun, Dahlan sudah dikirim ke Lebanon dan
menyajikan reportase perang yang memukau. Dalam hatinya, Alwy merasa begitu
bangga. Dalam hatinya pula dia berkata, “Anggaplah saya ini dipakai Tuhan
sebagai tangan untuk merintis kader-kader dan calon wartawan berkaliber.”
***
KORAN adalah garis tangan Dahlan. Demikian pendapat Alwy ketika
ditemui Kaltim Postdi kediamannya, belum lama ini di Jalan M Yamin,
Samarinda. Ketika bersama Erick Samola menangani Jawa Pos dan menaikkan
tirasnya berkali-kali lipat, Alwy semakin yakin hal itu.
Selain Dahlan, ada beberapa nama lain yang pernah menjadi
reporter Mimbar Masyarakat. Satu di antaranya, Rizal Effendi, yang kemudian
menjadi koresponden Tempo pada medio 80-an. Rizal juga menjadi pemimpin redaksi
Manuntung, koran yang dirintis Alwy bersama Wali Kota Balikpapan Zaenal
Ariffin. Manuntung kemudian diakuisisi Jawa Pos dan namanya berganti menjadi
Kaltim Post. Kini, Rizal sudah menjadi wali kota Balikpapan.
Jika melihat kader-kader itu, Alwy tidak pernah menyesal melepas
mereka dari Mimbar Masyarakat. “Saya berani melepas karena ingin melihat
anak-anak muda itu maju. Biarlah saya seperti seorang guru SD yang tetap
menjadi guru walaupun muridnya sudah menjadi orang hebat,” gumam Alwy pada
suatu ketika.
Pun demikian, ayah empat anak itu tidak pernah mengaku-ngaku
sebagai seorang guru. Justru dia yang sering dibanggakan Dahlan. Ketika suatu
hari Alwy diajak ke ruang redaksi Jawa Pos di Graha Pena, Surabaya, di depan
para redaktur, reporter, dan layouter, Dahlan berkata, “Ini Pak
Alwy. Guru yang membimbing saya menjadi wartawan.”
Suasana yang bagi Alwy sungguh mengharukan. Suasana yang membuat
dia terkenang memoar 37 warsa silam. Suasana yang tidak pernah bisa
dilupakannya.
(4) Dahlan Iskan
Tempo Doeloe di Samarinda: Bakat Jurnalis
Nyaris Ditabrak Iringan Jenazah, Eh, Dapat Tulisan Bagus
Banyak kisah menarik ketika Dahlan Iskan memulai karier
jurnalistiknya di Samarinda. Seorang sahabat dekatnya, Aan R Gustam, menuturkan
pengalamannya bersama Dahlan Iskan ketika menjadi wartawan di Mingguan Mimbar
Masyarakat.
AAN R GUSTAM*, Samarinda
SUATU siang di Samarinda pada 1976, Dahlan Iskan sedang
mengendarai sepeda pancalnya. Sembari mengayuh menuju kantornya di bibir Sungai
Mahakam, Dahlan melamunkan hasil wawancara dan berita yang akan
dibuatnya.
Ketika itu, wartawan Mimbar Masyarakat ini baru selesai
mewawancarai seorang pejabat di Balai Kota Samarinda. Di saat melintasi Jalan
Diponegoro, iringan orang yang membawa keranda berisi jenazah menuju ke
arahnya.
Zikir dari puluhan mulut yang mengiringi jenazah rupanya tidak
terdengar oleh Dahlan. Bahkan teriakan beberapa orang supaya dia menepi juga
tidak didengarnya. Dahlan tetap asyik memikirkan rencana judul dan lead berita
yang akan ditulisnya. Ketika mereka hampir berpapasan, salah seorang yang marah
mengejar Dahlan dan memepetnya sambil berteriak, “Minggir..! minggir…!” Dahlan
yang terkejut, kehilangan keseimbangan lalu terjerembab ke dalam parit plus
ditindih sepedanya.
Dahlan kesal. Tapi ternyata dia tidak marah. “Saya malah jadi
gembira dengan kejadian itu karena akhirnya memperoleh ilham untuk sebuah
tulisan,” ucapnya. “Ketika itu, saya benar-benar sumpek karena belum punya
bahan tulisan untuk rubrik Tajuk Rencana,” ceritanya lagi. Maka, hari itu Koran
Mimbar Masyarakat menurunkan Tajuk Rencana berjudul: “Sudah Saatnya
Samarinda Punya Mobil Jenazah”.
Itu supaya masyarakat bisa memanfaatkannya dan tidak lagi
berjalan kaki mengusung keranda di tengah keramaian lalu lintas, tulis
Dahlan.
***
DAHLAN Iskan ke Samarinda pada 1969. Usianya ketika itu masih 19
tahun. Di Kota Tepian, Dahlan sebenarnya ingin melanjutkan studinya. Di sini,
tinggal kakak perempuannya yang menjadi guru agama.
Ternyata kuliahnya berantakan. Dia malah asyik menggeluti dunia
kewartawanan. Di Institut Agama Islam Negeri di Samarinda, Dahlan sempat tiga
tahun kuliah. Dia juga tiga tahun belajar di Universitas 17 Agustus 1945,
Samarinda. “Kalau dijumlah ‘kan jadi 6 tahun. Jadi saya ini sarjana juga,”
selorohnya.
Sekitar tiga tahun di Samarinda, rambut Dahlan sudah gondrong.
Padahal, dia keluaran pesantren dan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia
(PII) yang terkenal militan.
Bakat jurnalistiknya semakin menonjol ketika ia berpolemik seru
dengan wartawan senior Yunani Prawiranegara tentang rambut gondrong yang gencar
dirazia aparat keamanan. Waktu itu, Dahlan sudah menjadi wartawan di Mingguan
Mimbar Masyarakat Samarinda, pimpinan Sayid Alwy AS.
Yunani sebenarnya guru jurnalistik Dahlan. Tapi Dahlan tidak
peduli. Dalam polemik itu, Dahlan tampil mewakili anak muda berambut gondrong
yang merasa hak azasinya dirampas. Tentu saja dia juga mewakili dirinya
sendiri. Ketika Dahlan pindah ke Surabaya, dua tahun kemudian Yunani juga ke
Surabaya dan menjadi redaktur di Surabaya Post.
***
MAJALAH Tempo menugaskan Dahlan Iskan pindah ke Surabaya
untuk menjadi Kepala Biro Jawa Timur. Setelah mengikuti program magang Mimbar
Masyarakat (Dahlan Iskan dikirim ke Tempo selama tiga bulan), dia pun direkrut
majalah tersebut.
Waktu itu, tawaran ke Surabaya diterimanya dengan agak ragu. Ini
adalah promosi luar biasa. Dari wartawan biasa di Samarinda melejit menjadi
kepala biro di Surabaya pada 1978.
Tahun-tahun itu, ada lima koresponden Majalah Tempo yang sangat
potensial dan harus segera diberi posisi yang memadai. Kelimanya pun akhirnya
menjadi kepala biro. Mereka adalah Putu Setia yang menjadi jadi kepala Biro
Jogjakarta, Rida K Liamsi (Riau), Sinansari Ecip (Makassar), Zakaria M Passe
(Medan), dan Dahlan Iskan (Surabaya).
Dahlan memang berambisi meningkatkan karier jurnalistiknya.
“Tapi Jawa Timur itu luas sekali. Seluk-beluk Surabaya saja saya tidak begitu
tahu. Apa bisa sukses di sana,” kata Dahlan kepada saya. Meski Dahlan orang
Jawa Timur kelahiran Takeran, Magetan, tapi tidak pernah ke mana-mana. “Di
Surabaya itu yang saya tahu, ya Pelabuhan Tanjung Perak ketika naik kapal laut
ke Samarinda,” katanya lagi.
Sepeninggal Dahlan ke Surabaya, saya menggantikan posisinya
menjadi wartawan Majalah Tempo di Samarinda. Karena kesibukan saya di bisnis
lain, posisi itu dipercayakan kepada Rizal Effendi (kini Wali Kota Balikpapan).
Dahlan, sejak di Samarinda adalah sosok ulet dan pekerja sangat
keras. Kalau sudah asyik dengan pekerjaannya, dia jadi tidak peduli, bahkan
terhadap dirinya. Otaknya selalu dijejali ide-ide yang bisa muncul kapan dan di
mana saja. Dari sorot matanya yang tajam seperti tak henti-hentinya berpikir.
Ia sangat mencintai profesinya yaitu dunia pers.
*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat
Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di
Surat Kabar Harian ManuntunG.
(5) Dahlan Iskan
Tempo Doeloe di Samarinda: Kesederhanaan
Jaket Biru, Kacamata Hitam yang Kebesaran, dan Sepeda Motor Butut
Dahlan Iskan adalah sebuah kesederhanaan. Tanpa embel-embel ini
itu, dia dikenal sebagai jurnalis yang menggunakan sesuatu seperlunya. Dahlan
adalah Dahlan.
AAN R GUSTAM*
WARTAWAN muda ini dikenal urakan dan sekenanya
dalam penampilan sehari-hari. Begitulah Dahlan sejak jadi wartawan Mimbar
Masyarakat di dekade 70-an di Samarinda.
Kecuali pada acara sangat resmi, ke mana-mana dia gemar memakai
sandal kulit. Kalau sekarang Dahlan memakai sepatu kets, itu merupakan suatu
peningkatan. Diingatkan beberapa pejabat agar pakaiannya menyesuaikan jika ke
Kantor Gubernur atau Balai Kota, itu sudah biasa. Tapi Dahlan adalah Dahlan.
Meski begitu, Dahlan hampir tidak pernah memakai baju kaus
apalagi kaus oblong dalam bertugas. Ia gemar mengenakan baju safari ala pejabat
penting. Jadi bisa dibayangkan penampilan Dahlan, berbaju safari tetapi
bersandal kulit. Jika ditanya alasannya, ternyata bukan untuk gagah-gagahan mau
dianggap sebagai orang penting. “Safari ini ‘kan kantongnya ada empat. Jadi
saya mudah menyimpan kamera, buku catatan, pulpen dan bahkan kertas-kertas,”
terang dia. Dahlan memang tidak biasa membawa tas seperti umumnya para
wartawan.
Seingat saya, selain kamera poket, ada tiga barang lain yang
sangat disayangi Dahlan. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, ketiga barang ini
selalu dia bawa. Ketiganya adalah jaket kain berwarna biru yang di bagian
belakang ada tulisan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kedua, kacamata hitam besar yang sama sekali tidak pas dengan
bentuk mukanya yang tirus itu. Ketiga, benda sangat vital, yaitu sepeda motor
bebek butut warna abu-abu kombinasi hitam.
Jaket ITB yang oleh anak-anak muda biasa disebut hudi itu
(karena ada kain penutup kepala di bagian belakang), didapat Dahlan dari
seorang teman wartawan Majalah Tempo. Dahlan sangat bangga dengan jaket itu.
Ketika saya mengunjungi rumah kontrakannya di Gubeng Kertajaya yang berdinding
gedek (anyaman bambu) beberapa bulan setelah dia pindah ke Surabaya, jaket itu
masih ada tapi lusuh sekali. Kehilangan warna.
Tapi kacamata besar hitamnya hilang. Tertinggal di sebuah kantor
ketika dia mewawancarai seorang sumber di Samarinda.
Yang saya tidak habis pikir, dia sangat menyesali kehilangan
itu. Dia selalu mengingatnya bak kehilangan kacamata mahal bermerek. Padahal,
itu kacamata murah yang dia beli di pedagang kaki lima. Beberapa kali dia
bilang pada saya seakan minta pendapat. “Sayang ya, padahal bagus,”
ucapnya.
Tapi saya tak pernah berkomentar karena kacamata itu memang
jelek sekali dan sangat tidak cocok dengan wajahnya. Bayangkan saja, Dahlan
harus ekstra-sibuk membetulkan posisi kacamata bila ia sedang memakainya.
Kacamata hitam itu kebesaran dan kedodoran.
Kemudian sepeda motor bebek. Kendaraan ini dibeli dari hasil
keuntungan Mimbar Masyarakat yang terbit dari mingguan menjadi harian selama
sepuluh hari.
Pada 1976, Samarinda menjadi tuan rumah MTQ tingkat nasional.
Kami bertiga, redaktur di koran itu, yakni saya, Dahlan dan Ibrahimsyah Rahman
(sekarang redaktur di Harian Kompas), bersepakat meningkatkan penerbitan
menjadi harian selama berlangsungnya kegiatan musbaqah.
Keuntungan dari terbit harian itu sekitar Rp 600 ribu lalu
dibelikan sepeda motor bebek bekas merek Honda. Karena Dahlan paling senior dan
dia di posisi redaktur pelaksana, dialah yang menggunakannya. Setelah beberapa
bulan, motor itu ngadat. Setelah diusut, ternyata bukan bensin yang habis tapi
oli mesin. Rupanya Dahlan tidak pernah memeriksa oli mesin. Bayangkan, ketika
mesin dibuka, pelumasnya hanya tinggal beberapa sendok.
Sebelum Dahlan ke Surabaya, motor bebek ini ditahan polisi di
Samarinda karena surat-suratnya juga tidak beres alias tidak pernah diurus.
Beberapa kali Dahlan sempat menelepon dari Surabaya agar motor itu diurus tapi
tidak ada yang mau mengurusnya. Begitulah, nasib sepeda motor Dahlan. Berakhir
menyedihkan di kantor polisi.
***
DAHLAN tidak pernah bercita-cita yang muluk-muluk. Kehidupan dan
kariernya menggelinding begitu saja. Yang di benaknya hanyalah bekerja,
bekerja, dan bekerja dengan baik. Kegigihannya menggebrak masa depan. Dia tidak
perlu moto atau kata-kata mutiara seperti dimiliki kebanyakan orang-orang
sukses.
Selain orang tua dan istrinya, orang yang paling dihormati
Dahlan adalah guru mengajinya dan Mas Gun (Goenawan Mohammad, bos Dahlan di
Majalah Tempo). Mas Gun bagi Dahlan adalah panutan. Baik dalam ilmu jurnalistik
maupun moralitas. Kesederhanaan kehidupan yang dilakoni Dahlan pun banyak
diperolehnya dari Mas Gun.
Dan media massa yang paling keras mengharamkan wartawannya
menerima uang atau bingkisan saat bertugas adalah Majalah Tempo. Awal di
Majalah Tempo. Dahlan pernah diuji diam-diam oleh media itu dalam masalah
menerima amplop dari sumber berita. Dan dia lulus dalam ujian itu.
Rasa hormat Dahlan terhadap Mas Gun dalam kesederhanaan bisa
ketika Dahlan sudah menangani Jawa Pos. Pada saat oplahnya sudah 200 ribu
eksemplar, Jawa Pos punya kantor perwakilan bagus di Jakarta serta dua anak
perusahaan pers, Cahaya Siang di Manado dan Kaltim Post di Balikpapan.
Jam terbang Dahlan semakin tinggi. Namun turun-naik pesawat
terbang, Dahlan tetap bersandal kulit atau sepatu kets serta menenteng kantong
plastik. Itu tempat menyimpan beberapa lembar pakaian. Seorang kolega bisnis
yang acap memperhatikan sikap Dahlan ini menegurnya.
“Sudah jadi bos surat kabar, Anda kok masih bawa kantong
plastik. Pakai tas hitam, dong,” kata koleganya itu. Dahlan tersenyum dan
menjawab, “Ini juga cukup. Enggak enak sama Mas Gun.” Begitulah dia. Dahlan
adalah Dahlan. (bersambung)
*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar
Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat
Kabar Harian ManuntunG.
(6-habis) Dahlan
Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Sang Pendamping
Sama-sama Aktivis, Sama-sama Jualan Koran
Tidak lengkap mengisahkan Dahlan Iskan di Samarinda pada dekade
70-an tanpa menyebut nama Nafsiah Sabri. Perempuan asal Loa Kulu, Kutai
Kartanegara ini adalah ibu dari anak-anak Pak Menteri.
AAN R GUSTAM*
PEREMPUAN yang biasa saya panggil ‘kakak’ ini setia mengikuti
Dahlan dari awal kehidupan yang sangat pahit. Setelah menikah, mereka menyewa
rumah sangat sederhana di Samarinda.
Seluruh tiang rumah sewaan ini menancap di Sungai Karang Mumus,
anak Sungai Mahakam. Hanya teras rumahnya yang menempel di bibir jalan raya.
Tak ada perabotan memadai di rumah itu. Kasur tempat mereka tidur pun harus
digulung kalau siang hari agar rumah tanpa kamar itu tetap terasa lebar.
Nafsiah adalah seorang guru SD. Gajinya banyak menunjang
kehidupan sehari-hari. Ketika lahir anak pertama mereka, Azrul Ananda --kini
presiden direktur Jawa Pos, mereka bisa menyewa rumah yang ada kamarnya meski
di gang sempit.
Bagaimana keduanya bertemu? Nafsiah dan Dahlan sama-sama aktivis
di Pelajar Islam Indonesia. “Bapak Rully (Azrul) itu dulu tidak bisa pacaran.
Aku ini dulu yang habis-habisan yang memacari dia,” cerita Nafsiah sembari
terkekeh-kekeh.
Setelah direkrut Majalah Tempo, pada akhir dekade
1970-an, Dahlan pindah ke Surabaya dan menjadi kepala biro Jawa Timur. Dahlan
sering terlihat tidak sabar. Dia seperti ingin segera menggulung dunia. Majalah
Tempo yang terbit sekali seminggu membuat Dahlan merasa banyak
menganggur. Sementara materi berita di Jawa Timur banyak sekali.
Wartawan seproduktif Dahlan tentu gelisah.
Diam-diam, Dahlan menulis berita untuk sebuah media di Surabaya.
Bahkan berita-berita yang ditolak Tempo ia kirim ke media itu.
Dia pernah ditegur Tempo dengan sikapnya. Sejak di Samarinda,
keinginan Dahlan memiliki koran harian memang besar sekali.
AWAL MULA JAWA POS
Potensi dan semangat Dahlan inilah yang menjadi salah satu
pertimbangan manajemen Tempo membeli harian Jawa Pos.
Dengan modal awal Rp 40 juta, lima redaktur potensial, 5.000 eksemplar oplah
tiap hari, ditambah spirit dan optimisme tinggi, pada awal dekade 1980-an
Dahlan bergerak menjajakan Jawa Pos dengan manajemen
baru.
Ketika Jawa Pos terus merangkak naik, Dahlan
menawari saya membantu menangani di Malang, Jawa Timur. Dengan banyak
pertimbangan, saya memilih sekaligus membujuk Dahlan mendirikan harian di
Kaltim. Tentu permintaan saya ini bukan hal yang mudah karena Jawa Pos masih
perlu investasi besar. Ketika itu, Kaltim memang masih belum diperhitungkan
dari segi bisnis surat kabar. Tapi dengan iktikad baik dan ingin membalas budi
kepada masyarakat Kaltim, Dahlan akhirnya bersedia mendirikan surat kabar
harian yang akhirnya diberi nama ManuntunG pada 1988.
Toh, keputusan Dahlan itu tidak salah. Dari seluruh anak
perusahaan Jawa Pos, media yang kini bernama Kaltim Post itu
merupakan perusahaan paling sukses.
Kembali ke Nafsiah, pada tahun-tahun pertama Dahlan menangani Jawa
Pos, istrinya itu selalu bolak-balik dari rumah ke kantor membawakan baju
ganti dan makanan. Dahlan seringkali tidak sempat pulang. Biarpun ketika itu
sudah punya mobil, Nafsiah tidak bisa memakai mobil itu dengan leluasa karena
dipakai mengangkut koran Jawa Pos.
Selain itu, Nafsiah diminta Dahlan menjadi agen Jawa Pos untuk
daerah Rungkut Tenggilis Mejoyo, tempat tinggal mereka. Selesai salat subuh,
Nafsiah nongkrong di teras, melipat dan menghitung jumlah koran.
Nafsiah sebenarnya ingin kembali mengajar di sekolah, tapi
Dahlan tidak mengizinkan. Bahkan perempuan ini tidak bisa lagi menemukan ijazah
dan surat-surat penting lainnya. Ketika ijazah itu ia tanyakan kepada Dahlan. Jawaban
Dahlan, “Sudah saya bakar.” Tapi Nafsiah tidak yakin suami yang dipanggilnya
dengan sebutan ‘Bapak Rully (Azrul)’ itu telah membakar ijazahnya. Curiganya,
surat-surat penting Nafsiah hanya disembunyikan,” tuturnya.
Meski bersuara lantang dan tegas, perempuan kelahiran Samarinda
ini tetap lembut, humoris, dan penuh perhatian. Saat Dahlan hendak turun kerja,
ia seringkali memanggil dan mengejar Dahlan sampai ke pekarangan rumah untuk
sekadar membetulkan kerah baju yang tidak teratur. Kadang, dia menyisir rambut
Dahlan yang awut-awutan. Saya pernah berseloroh, “Untung saja Mas Dahlan tidak
pakai sepatu. Kalau tidak, kakak harus tambah kerjaan ekstra, membetulkan tali
sepatunya.”
Sampai mereka menempati rumah lumayan bagus di Rungkut,
Surabaya, memperhatikan kerapian Dahlan itu tetap dilakukan. Tentu tidak ada
seorang pun yang melebihi kecemasan Nafsiah ketika diputuskan hati Dahlan harus
diganti karena serangan kanker yang ganas. Dan alhamdulillah, semuanya berjalan
baik.
Berbekal keuletan, ketabahan, keteguhan dan kesabaran hati,
tidak berlebihan kalau saya sebut Nafsiah merupakan salah satu faktor sangat
penting dalam menentukan sukses Dahlan Iskan.
Di luar itu, sebagai perempuan Nafsiah acapkali digoda rasa
cemburu. Maklum, Dahlan adalah sosok yang populer bak selebriti. Namun dengan
iman dan pemikiran muslimahnya, Nafsiah mampu mengatasi goncangan perasaannya.
TIDAK BERUBAH
Membesarkan Jawa Pos bagi Dahlan tidaklah
mulus-mulus amat. Koran ini beberapa kali didemo masyarakat disebabkan
pemberitaannya. Dari beberapa demo, Dahlan menemukan kesamaan yang aneh. Ia
kemudian menceritakan kembali demo-demo yang terjadi di kantor redaksi Jawa
Pos.
Pertama Jawa Pos didatangi pengunjuk rasa
karena berita penghapusan ‘becak’ di Surabaya. Kedua, didemo karena berita soal
‘babi’. Kemudian didemo lagi oleh ‘banser’ karena berita tentang Gus Dur.
Selain itu, Dahlan tidak pernah sukses menangani ‘bola’ ketika menjadi manajer
Mitra Surabaya. “Saya ini sepertinya tidak begitu cocok menangani persoalan
yang diawali huruf B,” candanya.
Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut Dahlan ‘autodidak
brilian bertangan dingin’. Sukses yang dicapainya hingga sekarang merupakan
jerih payah keuletan, ketekunan, kejujuran, dan nasib baik.
Meski Dahlan sudah jadi orang sukses dan penting secara
nasional, penampilan dan karakternya tidak banyak berubah. Komitmen moralnya
terhadap orang kecil tetap konsisten. Di usianya yang sudah 61 tahun, dengan
tanggung jawab pekerjaan yang makin luas, Dahlan tetap pekerja keras dan
produktif menulis.
Kepada teman-temannya di daerah yang dulu dibinanya menjadi
wartawan, ia tetap hangat kalau bertemu. Saya kira, tidak banyak yang berubah
dari Dahlan, kecuali dua hal: isi dompet dan status sosialnya. (***)
*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat
Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di
Surat Kabar Harian ManuntunG.