Rabu, 07 Maret 2012

CONTOH MAKALAH

FILOSOFI ALAM TAKAMBANG JADI GURU SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BERBAHASA

Oleh Witri Annisa

A.    Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang besar. Negara yang memiliki semua modal dasar untuk berkembang dan maju. Modal  tersebut diantaranya memiliki wilayah yang sangat luas, kaya sumber daya alam (SDA), dan jumlah penduduk yang besar. Dengan ketiga modal tersebut seharusnya Indonesia sudah menjadi negara maju yang sejajar dengan negara di Amerika dan Eropa. Namun, kenyataan sebaliknya Indonesia tetap negara miskin yang penuh dengan problematika yang sulit diatasi.
Suatu bangsa yang maju adalah bangsa yang masyarakatnya memiliki etos kerja tinggi, mandiri, jujur, bertanggung jawab, hemat dan bermoral baik. Sedangkan tanda-tanda bangsa yang menuju jurang kehancuran antara lain adalah meningkatnya kekerasan remaja, pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, seks bebas, semakin kaburnya pedoman moral, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat  kepada orang tua, rendahnya tanggung jawab mansyarakat, rendahnya nilai kejujuran, adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama, pengunaan kata-kata yang buruk atau kasar (Megawangi, 2004:80). Dari tanda-tanda tersebut Indonesia sudah memilikinya. Salah satu tanda yang penting adalah semakin buruknya pengunaan bahasa masyarakatnya. Hal tersebut terlihat dari membudayanya bahasa “prokem” dikalangan remaja dan bahasa-bahasa kasar yang dapat terjadi pergeseran sosial (Megawangi, 2004:8).
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Komunikasi akan lancar bila penggunaan bahasa penuturnya baik, tetapi akan terjadi perselisihan apabila bahasa yang digunakan tidak baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahasa seseorang menunjukkan bangsa. Bahasa akan menunjukkan karakter, watak, pribadi seseorang. Bila bahasa seseorang telah berubah menuju ke arah negatif seperti sarkasme, menghujat memaki, menfitnah, mengejek, melecehkan maka dapat dikatakan karakter seseorang tersebut buruk. Seperti yang diungkapkan Yuwono (dalam Cahyani, dalam Karim, 2010:635) bahwa perubahan bahasa terjadi karena ketidaktertiban pengunaan bahasa yang mengakibatkan terjadinya krisis jati diri bangsa.
Krisis jati diri bangsa Indonesia yang terjadi sekarang karena perubahan karkateristik pengunaan bahasa masyarakatnya. Hal tersebut dapat diatasi dengan mengembalikan pemahaman masyarakat dalam filsafah alam takambang jadi guru. Alam takambang jadi guru membentuk karakter masyarakat untuk menghargai bahasa dan mengunakan bahasa untuk berkomunikasi yang dilakukan dengan memperhatikan konteks dan dan kategori sosial penutur.
 B.    Tujuan Penulisan

Permasalahan yang terjadi dalam kaitan kehidupan masyarakat yang majemuk adalah terjadinya krisis jati diri bangsa. Krisis tersebut terjadi karena pengunaan bahasa yang tidak tertib sehingga dapat merusak karakter bangsa. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan yang dapat membentuk karakter bangsa melalui bahasa dengan filosofi alam takambang jadi guru.
C.     Pendidikan Karakter Berbahasa

Secara etimologi kata karakter dapat dilacak dari kata Latin, charassein, dan kharax yang maknanya “tools for making” dan “to angrave”. Berikutnya dalam bahasa Indonesia disebut karakter (Wahyudin, dalam Karim, 2010:122). Karakter adalah kebijakan (goodness) dalam arti berpikir baik (thinking good), berperasaan baik (feeling good) dan berperilaku baik (behaving good) dengan demikian karakter akan tampak pada pikiran, perasaan, perbuatan dari manusia (Budimansyah, dalam Karim, 2010:1).
Pendidikan karakter bangsa adalah perenungan tentang keberadaan manusia  sebagai pengahayat nilai. Nilai untuk membentuk moral yang positif. Lickona (dalam Suryadi, dalam Karim, 2010:407) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter merupakan sarana ampuh untuk memacu kehidupan bersama yang lebih demokrasi dalam masyarakat. Selajutnya, Thomas Jeferson juga menambahkan nilai-nilai karakter harus ditumbuh dan ditanam pada setiap manusia sejak dini sebagai fondasi untuk kehidupan manusia selanjutnya (Suryadi, dalam Karim, 2010:407).
Pendidikan karakter sebagai bagian integral dari keseluruhan tatanan sistem pendidikan nasional maka harus dikembangkan dan dilaksanakan secara sistemik dan holistik dalam tiga pilar. Pertama, pilar pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, program pendidikan nonformal). Kedua, pilar keluarga (keluarga inti dan keluarga luas). Ketiga, pilar masyarakat (komunitas, masyarakat lokal, wilayah, bangsa dan negara) (Budimansyah, dalam Karim, 2010:62). Ketiga pilar tersebut megandung nilai luhur seperti nilai kejujuran, bertanggung jawab, cerdas, sehat dan bersih, peduli dan kreatif.
Cara mengimplementasikan pendidikan karakter menurut Lickona (dalam Wahyuibnuyusuf, 2010) dengan menjalankan sebelas prinsip pendidikan karakter secara efektif. Pertama, kembangkan nilai-nilai etika dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik. Kedua, mendefinisikan “karakter” secara komprehensif. Ketiga, menggunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam mengembangkan karakter. Keempat, menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian. Kelima, memberi kesempatan untuk melakukan tindakan moral. Keenam, membuat kurikulum akademik yang bermakna, mengembangkan karakter dan membuat siswa berhasil. Ketujuh, mendorong motivasi siswa. Kedelapan, melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan berbagi tanngung jawab moral dalam pendidikan karakter. Kesembilan, menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter. Kesepuluh, melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dam pembangunan pendidikan karakter. Kesebelas, mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sebagai pendidik karakter dan sejauhmana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Proses pembentukan karakter bangsa dimulai dari penetapan karakter pribadi yang diharapkan dapat berakumulasi menjadi karakter masyarakat dan pada akhirnya dapat menjadi karakter bangsa. Dalam rancangan induk pengembangan karakter bangsa Kementrian  Pendidikan Indonesia RI ada tiga aspek pembentuk karakter luhur diataranya pertama, agama, pancasila, UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Kedua, teori pendidikan, psikologi, nilai dan sosial budaya. Ketiga, pengalaman terbaik dan praktik nyata. (Pemerintah Republik Indonesia, 2010)
Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini karena mengajarkan nilai-nilai positif pada usia dini lebih efektif. Seperti kata pepatah menjarkan anak kecil ibarat menulis di atas batu akan tetap teringat samapi usia tua. Sedangkan bila diajar ketika dewasa diibaratkan seperti menulis di atas air, cepat hilang dan tidak berbekas. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Seperti yang diungkapkan Megawangi (2004:23) bahwa beberapa pakar mengatakan kegagalan penanaman karakter sejak dini akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasanya. Pembentukan karakter manusia dapat ditentukan melalui dua faktor, yaitu nature  (faktor alami atau fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan).
Pembentukan karakter, khususnya karakter berbahasa sangat penting. Manusia yang memiliki karakter berbahasa yang baik akan dapat berkomunikasi dengan baik. Dua faktor penentu karakter manusia tersebut juga berkaitan dengan pembentukan karakter berbahasa nature atau alami, dimana manusia mempunyai tahap pemerolehan bahasa baik dari bayi sampai dewasa. Begitu juga dengan pemembentukan karakter dengan nuture atau sosialisasi. Manusia dapat belajar berbahasa dalam ligkungannya yang disesuaikan dengan konteks pembicaraan. Karakter berbahasa yang dibentuk dari faktor nature dan nuture akan dapat menghasilkan karakter bahasa yang baik yang akhirnya dapat menghasilkan komunikasi yang baik pula.

D. Filosofi AlamTakambang jadi Guru dalam Berbahasa
Alam takambang jadi guru merupakan filosofi masyarakat Minangkabau. Alam takambang jadi guru mengajarkan untuk berguru pada alam. Seperti dalam pepatah “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kanyiru. Nan satitik jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru”. Nenek moyang Minangkabau menjadikan sunatullah yang ada di alam sebagai dasar adat Minangkabau (Amir, 2009). Masyarakat Minangkabau mempunyai norma dalam berkomunikasi yang disesuaikan dengan status sosial penutur dan petutur, tatapi tidak mengindikasikan strata bahasa seperti bahasa Jawa dan Sunda, melainkan hanya sebagai etika berbahasa. Norma dalam berkomunikasi yang digunakan masyarakat Minangkabau ada empat yaitukato mandaki (kata mendaki),  kato manurun (kata menurun), kato malereng (kata miring), katomandata (kata mendatar). Kata mendaki adalah bahasa yang digunakan oleh penutur yang status sosialnya lebih rendah dari petuturnya, seperti bahasa anak kepada orang tuanya. Kata menurun adalah kata yang dipakai oleh penutur yang status sosialnya lebih tinggi dari petuturnya, seperti bahasa yang dipakai guru kepada muridnya. Kata miring adalah bahasa yang digunakan penutur yang sama statusnya sosialnya dengan petuturnya yang sama-sama saling menghargai, seperti bahasa yang dipakai antara sesama menantu dalam sebuah keluarga besar. Kata mendatar adalah bahasa yang digunakan penutur yang status sosialnya sama dan akrab dengan petuturnya, seperti bahasa yang dipakai antara teman dekat yang akrab (Rosa, 2010).
Semua yang ada di alam mempunyai unsur pendidikan baik itu pada manusia, hewan, tumbuhan, air, angin, tanah, dll. Salah satu nilai pendidikan yang terkadung di alam adalah pendidikan berbahasa. Manusia sebagai bagian dari alam juga dapat belajar dengan sesama manusia. Manusia dapat menjalin komunikasi dengan baik sehingga tercipta kehidupan tentram dan damai. Alat komunikasi tersebut adalah bahasa maka manusia diharuskan untuk menggunakan bahasa yang baik. Bahasa yang baik adalah bahasa yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat mencerminkan karakter bangsa. Manusia sebagai subjek di alam ini dapat belajar pada bagian alam lainnya, khususnya dalam bebahasa.
Unsur alam lainnya selain manusia adalah hewan. Hewan adalah makhluk tuhan yang tidak memiliki akal, tetapi dapat memberikan pembelajaran pada manusia khususnya dalam berbahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya dilakukan secara verbal, tetapi juga secara nonverbal. Hewan menggunakan bahasa nonverbal dalam berkomunikasi. Hewan-hewan tersebut di antaranya adalah burung, lebah, ikan lumba-lumba, simpanse, kepiting, singa, kucing, anjing, dll. Sistem komunikasi hewan-hewan tersebut berbeda-beda.
Tumbuhan juga tidak berbahasa secara verbal tetapi melalui nonverbal. Hal tersebut terlihat dari gerakannya. Gerakan tumbuhan menunjukkan keadaan alam sekitarnya. Selain itu, tumbuhan menyampaikan pesan secara tersirat pada manusia. Pesan-pesan tersebut seperti menjaga tumbuhan tersebut untuk tetap tumbuh dan berkembang agar nantinya apa yang dimiliki tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia. Seperti, oksigen, buah, bagian-bagian dari tumbuhan tersebut. Angin mengajarkan manusia untuk peka pada alam. Gerakan angin juga mengandung pesan yang ingin disampaikan. Khusus bagi nelayan gerakan angin sangat penting sebagai tanda untuk mulai bekerja.

E. Simpulan
Pembentukan karakter berbahasa melalui filosofi alam takambang jadi guru dapat diwujudkan pada pengenalan tentang alam sejak dini pada anak. Alam memiliki semua yang dibutuhkan manusia. Alam akan mengajarkan manusia tentang nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat dipelajari manusia secara langsung tanpa harus ada pendidikan formal. Pengenalan tentang alam pada anak dapat melalui keluarga dan masyarakat. Bila sejak dini anak sudah dikenalkan pada keistimewaan alam maka akan mudah membentuk karakter anak untuk lebih menjaga alam dan melestarikan alam.
Semua yang ada di alam mempunyai unsur pendidikan baik itu pada manusia, hewan, tumbuhan, air, angin, tanah, dll. Salah satu nilai pendidikan yang terkadung di alam adalah pendidikan berbahasa. Manusia mengunakan bahasa verbal dan nonverbal dalam berkomunikasi, tetapi selain manusia unsur yang terkandung dari alam menggunakan bahasa nonverbal untuk berkomunikasi. Walaupun unsur alam seperti hewan, tumbuhan, air, tanah, dll tersebut menggunakan bahasa nonverbal dan terbatas, manusia juga dapat belajar dari unsur-unsur tersebut. Hewan mengunakan bahasa nonverbalnya dengan bernyanyi, bergerak, dan perpedoman pada bau. Tumbuhan juga menggunakan bahasa nonverbalnya dengan gerakannya. Bahasa yang digunakan di alam pada dasarnya digunakan untuk menyampaikan pesan untuk tetap menjaga alam agar kehidupan dapat berjalan dengan baik, lancar, dan aman.
Alam mengajarkan manusia untuk menggunakan bahasa dalam berkomunikasi dengan memperhatikan unsur-unsur dalam berkomunikasi. Unsur-unsur tersebut diantaranya komunikan, komunikator, konteks, dan topik komunikasi. Manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk sosial yang masih membutuhkan manusia lain dan unsur-unsur alam lainya. Pembelajaran alam yang dibekali sejak dini pada anak akan membuat anak paham akan pentingnya belajar pada alam dan memahami pesan-pesan yang disampaikan alam. Seperti halnya masyarakat Minangkabau yang mempunyai norma dalam berkomunikasi yang menggunakan empat cara, yaitu kato mandaki (kata Mendaki), katomanurun  (kata menurun), kato malereng (kata miring), kato mandata(kata mendatar). Kata mendaki adalah bahasa yang digunakan oleh penutur yang status sosialnya lebih rendah dari petuturnya, seperti bahasa anak kepada orang tuanya. Kata menurun adalah kata yang dipakai oleh penutur yang status sosialnya lebih tinggi dari petuturnya, seperti bahasa yang dipakai guru kepada muridnya. Kata miring adalah bahasa yang digunakan penutur yang sama statusnya sosialnya dengan petuturnya yang sama-sama saling menghargai, seperti bahasa yang dipakai antara sesama menantu dalam sebuah keluarga besar. Kata mendatar adalah bahasa yang digunakan penutur yang status sosialnya sama dan akrab dengan petuturnya, seperti bahasa yang dipakai antara teman dekat yang akrab.

Apabila manusia sudah dididik untuk mengenal dan menjaga alam sejak dini, maka sejak itulah pembentukan karakter anak dimulai. Karakter untuk belajar pada alam dan memahami bahasa alam baik tersirat maupun tersurat. Jika karakter tersebut telah terbentuk tidak mustahil alam akan bersahabat dengan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Budimansyah, Dasim. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Husein, Amir. 2009. Mencari Nilai Falsafah Dalam Adat.

Dalam www.palantaminang.wordpress.com. Diunduh pada 21 Desember 2010.

Karim, Suryadi, dkk.(editor). Potret Profesionalisme Guru dalam Membangun Karakter Bangsa : Pengalaman Indonesia dan Malaysia. Bandung: UPI Press.

Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Pemerintah Republik Indonesia. Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025.Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Rosa, Silvia. 2010. Komunikasi Menurut Budaya Minangkabau. Dalam http://repository.unand.ac.id. Diunduh pada 19 Februari 2011.

Wahyudiibnuyusuf. 2010. Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa, Mungkinkah? Dlam www. Wahyu-diibnuyusuf.blogspot.com. Diunduh pada 19 Desember 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar