Kamis, 17 November 2011 , 05:52:00
Banyak kisah menarik ketika Dahlan Iskan
memulai karier jurnalistiknya di Samarinda. Seorang sahabat dekatnya, Aan R
Gustam, menuturkan pengalamannya bersama Dahlan Iskan ketika menjadi wartawan
di Mingguan Mimbar Masyarakat.
AAN R GUSTAM*, Samarinda
SUATU siang di Samarinda pada 1976, Dahlan Iskan sedang mengendarai
sepeda pancalnya. Sembari mengayuh menuju kantornya di bibir Sungai Mahakam,
Dahlan melamunkan hasil wawancara dan berita yang akan dibuatnya.
Ketika itu, wartawan Mimbar Masyarakat ini
baru selesai mewawancarai seorang pejabat di Balai Kota Samarinda. Di saat
melintasi Jalan Diponegoro, iringan orang yang membawa keranda berisi jenazah
menuju ke arahnya. Zikir dari puluhan mulut yang mengiringi
jenazah rupanya tidak terdengar oleh Dahlan. Bahkan teriakan beberapa orang
supaya dia menepi juga tidak didengarnya. Dahlan tetap asyik memikirkan
rencana judul dan lead berita yang akan ditulisnya. Ketika
mereka hampir berpapasan, salah seorang yang marah mengejar Dahlan dan
memepetnya sambil berteriak, “Minggir..! minggir…!” Dahlan yang terkejut,
kehilangan keseimbangan lalu terjerembab ke dalam parit plus ditindih
sepedanya.
Dahlan kesal. Tapi ternyata dia tidak marah.
“Saya malah jadi gembira dengan kejadian itu karena akhirnya memperoleh ilham
untuk sebuah tulisan,” ucapnya. “Ketika itu, saya benar-benar sumpek karena
belum punya bahan tulisan untuk rubrik Tajuk Rencana,” ceritanya lagi. Maka,
hari itu Koran Mimbar Masyarakat menurunkan Tajuk Rencana
berjudul: “Sudah Saatnya Samarinda Punya Mobil Jenazah”.
Itu supaya masyarakat bisa memanfaatkannya dan
tidak lagi berjalan kaki mengusung keranda di tengah keramaian lalu lintas,
tulis Dahlan.
***
DAHLAN Iskan ke Samarinda pada 1969. Usianya ketika itu masih 19 tahun.
Di Kota Tepian, Dahlan sebenarnya ingin melanjutkan studinya. Di sini,
tinggal kakak perempuannya yang menjadi guru agama. Ternyata kuliahnya berantakan. Dia malah asyik
menggeluti dunia kewartawanan. Di Institut Agama Islam Negeri di Samarinda,
Dahlan sempat tiga tahun kuliah. Dia juga tiga tahun belajar di Universitas
17 Agustus 1945, Samarinda. “Kalau dijumlah ‘kan jadi 6 tahun. Jadi saya ini
sarjana juga,” selorohnya.
Sekitar tiga tahun di Samarinda, rambut Dahlan
sudah gondrong. Padahal, dia keluaran pesantren dan aktif di organisasi
Pelajar Islam Indonesia (PII) yang terkenal militan.
Bakat jurnalistiknya semakin menonjol ketika
ia berpolemik seru dengan wartawan senior Yunani Prawiranegara tentang rambut
gondrong yang gencar dirazia aparat keamanan. Waktu itu, Dahlan sudah menjadi
wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat Samarinda, pimpinan
Sayid Alwy AS.
Yunani sebenarnya guru jurnalistik Dahlan.
Tapi Dahlan tidak peduli. Dalam polemik itu, Dahlan tampil mewakili anak muda
berambut gondrong yang merasa hak asasinya dirampas. Tentu saja dia juga
mewakili dirinya sendiri. Ketika Dahlan pindah ke Surabaya, dua tahun
kemudian Yunani juga ke Surabaya dan menjadi redaktur di Surabaya
Post.
***
MAJALAH Tempo menugaskan Dahlan Iskan pindah ke Surabaya untuk menjadi
Kepala Biro Jawa Timur. Setelah mengikuti program magang Mimbar
Masyarakat (Dahlan Iskan dikirim ke Tempo selama
tiga bulan), dia pun direkrut majalah tersebut. Waktu itu, tawaran ke Surabaya diterimanya
dengan agak ragu. Ini adalah promosi luar biasa. Dari wartawan biasa di
Samarinda melejit menjadi kepala biro di Surabaya pada 1978.
Tahun-tahun itu, ada lima koresponden
Majalah Tempo yang sangat potensial dan harus segera diberi
posisi yang memadai. Kelimanya pun akhirnya menjadi kepala biro. Mereka adalah
Putu Setia yang menjadi jadi kepala Biro Jogja, Rida K Liamsi (Riau),
Sinansari Ecip (Makassar), Zakaria M Passe (Medan), dan Dahlan Iskan
(Surabaya).
Dahlan memang berambisi meningkatkan karier
jurnalistiknya. “Tapi Jawa Timur itu luas sekali. Seluk-beluk Surabaya saja
saya tidak begitu tahu. Apa bisa sukses di sana,” kata Dahlan kepada saya.
Meski Dahlan orang Jawa Timur kelahiran Takeran, Magetan, tapi tidak pernah
ke mana-mana. “Di Surabaya itu yang saya tahu, ya Pelabuhan Tanjung Perak
ketika naik kapal laut ke Samarinda,” katanya lagi.
Sepeninggal Dahlan ke Surabaya, saya
menggantikan posisinya menjadi wartawan Majalah Tempo di
Samarinda. Karena kesibukan saya di bisnis lain, posisi itu dipercayakan
kepada Rizal Effendi (kini Wali Kota Balikpapan).
Dahlan, sejak di Samarinda adalah sosok ulet
dan pekerja sangat keras. Kalau sudah asyik dengan pekerjaannya, dia jadi
tidak peduli, bahkan terhadap dirinya. Otaknya selalu dijejali ide-ide yang
bisa muncul kapan dan di mana saja. Dari sorot matanya yang tajam seperti tak
henti-hentinya berpikir. Ia sangat mencintai profesinya yaitu dunia
pers. (bersambung/ji)
*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan
Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur
pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG (sekarang Kaltim Post).
|
Selasa, 01 Mei 2012
Inspirasi Ide Penulisan Tajuk Rencana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar