Minggu, 06 April 2014

Bulan Haji Agus Salim di merdeka.com, memimpin itu menderita

Reporter  T. Widyatmoko | Selasa, 1 April 2014,  06.20


Merdeka.com - Dunia mengakuinya sebagai negarawan besar Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta menjulukinya sebagai The Grand Old Man, Orang Besar yang Sudah Tua.

"Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan intelek. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus Salim sambil duduk ngelesot di bawah kakinya. Saya merasa berbahagia bahwa saya ini dulu dapat minum air pemberian Tjokroaminoto, dan minum air pemberian Agus Salim," demikian Bung Karno.

Solichin Salam, wartawan penulis biografi Agus Salim mengutip kesaksian dari Bung Hatta tentang Agus Salim. "Kepandaiannya luar biasa. Dalam seratus tahun hanya lahir satu manusia semacam itu," demikian Bung Hatta.

"Kalau kita hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah satu putra Indonesia, maka saya rasa yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus Salim," demikian kata negarawan M Natsir.

Haji Agus Salim adalah wartawan, sastrawan, ulama, ahli bahasa, diplomat, dan politikus dengan jejak-jejak keteladanan yang tak akan lekang oleh zaman. Haji Agus Salim meninggalkan warisan-warisan pemikiran yang akan terus dikenang generasi demi generasi bangsa ini.

Haji Agus Salim lahir di Kota Gadang, Bukittinggi pada 1884. Dia putra seorang jaksa kepala di Tanjung Pinang, Riau. Pendidikan Agus Salim dimulai dari Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah khusus anak-anak Eropa. Dia lantas melanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Agus Salim adalah lulusan terbaik dari tiga HBS di Hindia Belanda saat itu.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Di usia yang sangat muda ini, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing yakni Arab, Belanda, Inggris, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman.

Kecerdasan dan kepiawaian Agus Salim dalam diplomasi ternyata menarik minat negara dan penjajah saat itu yakni Belanda. Belanda menawarkan kepadanya untuk menjadi penerjemah pada Konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1906 sampai 1911.

Pada saat di Mekkah itulah Salim mendalami ilmu agama dengan pamannya Syeikh Khatib al-Minangkabawi yang saat itu menjadi Imam di Masjidil Haram. Pada 1915, Salim meniti karier dengan malang melintang di dunia jurnalistik. Kepribadian Agus Salim yang tegas membuat setiap tulisannya di Neratja maupun Bataviasch Nieuwsblad selalu tajam dan mengandung kritikan pedas dalam membakar semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.

Dunia jurnalistik ternyata bukan pelabuhan akhir karier Agus Salim di mana dia juga memutuskan untuk terjun ke dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam. Pada 1946 sampai 1950 dia menjadi bintang dalam percaturan politik Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Selain itu Salim juga dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.

Menurut catatan harian Prof Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggajati, Agus Salim adalah orang yang sangat pandai. Seorang jenius yang mampu bicara dan menulis dengan sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Hanya satu kelemahan dari HajiAgus Salim, yaitu hidup melarat.

Kehidupan Haji Agus Salim tidak hanya sederhana, bahkan mendekati miskin. Keluarga HajiAgus Salim pernah tinggal di Gang Lontar Satu di Jakarta. Kalau menuju ke Gang Lontar Satu, harus masuk dulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi ke gang kecil. Bisa dibayangkan, mana ada pejabat sekarang yang tinggal di "cucu" gang.

Kini, persis di bulan politik, bulan pencoblosan Pemilu 2014, merdeka.com akan mengulas sosok Haji Agus Salim sebulan lamanya. Setidaknya, masyarakat akan selalu mengenang prinsip yang selalu dijalani Haji Agus Salimleiden is lijden (memimpin adalah menderita). Prinsip yang sulit dicari wujudnya zaman sekarang.


Trisman, Motivator Budaya Hingga Akhir Hayatnya
Terbit pada: 18 Dec 2011 20:58 pm


Oleh Taufik Wijaya
Pekerja seni dan jurnalis

SEKITAR tahun 2001, saya bertemu dengan Bambang Trisman atau B. Trisman di kantornya Balai Bahasa Palembang—kemudian berganti menjadi Balai Bahasa Sumatera Selatan—di Sekip Ujung Palembang. Trisman yang sebelumnya bertugas di Pusat Bahasa, memang dikenal sebagai sastrawan yang kemudian menjadi peneliti sastra dan Bahasa Indonesia.

Dia menuturkan, dirinya akan berusaha meningkatkan iklim bersastra di Sumatera Selatan, khususnya di Palembang.

Awalnya, saya tidak begitu optimitis dengan keinginan Trisman terwujud, sebab saat itu iklim bersastra di Palembang, dalam ketegangan “individu”. Namun, pelan tapi pasti Trisman mampu merangkul hampir semua pekerja sastra di Palembang.

Langkah pertama yang saya ketahui, dia mengadakan workshop sastra. Para fasilitator yang dilibatkan yakni para pekerja sastra di Palembang. Tak lama kemudian dia mengirimkan para pekerja sastra di Sumatera Selatan mengikuti kegiatan yang digelar Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), termasuk menggelar pertemuan Mastera di Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, saat dipimpin Alex Noerdin.

Tak lama kemudian, dia bersama Djohan Hanafiah, Maman S. Mahayana, mendiskusikan kemungkinan digelarnya pertemuan Penyair International di Sekayu bersama Alex Noerdin. Mereka pun sepakat, tapi pertemuan di Sekayu akhirnya dipindahkan ke Palembang, atas permintaan Gubernur Sumsel saat itu Syahrial Oesman pada tahun 2007.

Salah satu karya pentingnya bersama Balai Bahasa Sumatera Selatan, yakni melakukan pemetaan bahasa daerah di Sumatera Selatan. Menariknya, hasil penelitian mereka, berkembangnya bahasa Melayu di Sumatera Selatan berasal dari Pulau Bangka, masuk ke Mesuji, dan masuk ke kawasan Bukitbarisan, tepatnya di daerah Danau Ranau. Teori ini membantah asumsi sebelumnya, yakni masuk dari Sungai Musi.

Trisman bukan hanya fokus dengan sastra dan Bahasa Indonesia. Dia pun peduli dengan persoalan kebudayaan di Sumatera Selatan. Salah satunya dia terlibat dalam tim diskusi terkait dengan pementasan “Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya” karya Erwan Suryanegara tahun 2008. Sebelumnya, Erwan pun pernah diminta dan diundangnya sebagai pembicara dari Sumatera Selatan dalam sebuah Seminar Bahasa Daerah di Lampung. Trisman sangat tertarik dengan kajian Erwan terkait Tradisi Megalitik Pasemah Bukitbarisan, yang diyakini dapat menjadi masukan dalam penelitian tentang Bahasa Daerah di Sumatera.

Trisman, bagi saya merupakan sosok penting dalam penulisan novel saya. “Banyak penyair yang mampu menulis novel. Kamu saya pikir dapat menulis novel,” katanya seusai membaca sebuah cerita panjang saya berjudul “Juaro”. Cerita panjang itu sendiri kemudian saya selesaikan menjadi sebuah novel. Selanjutnya, saya pun banyak berdiskusi dalam proses penulisan novel Buntung, serta novel Cagak yang belum diluncurkan.

Soal penulisan novel ini, bukan hanya saya yang didorongnya. Lahirnya novel Perahu karya Conie Sema, Angin karya Toton Dai Permana, juga tak lepas dari dukungan dari Trisman. Begitu pun dengan para penulis lainnya seperti Anton Bae, Arpan Rachman, Dahlia, juga mendapatkan dukungan Trisman dalam menyelesaikan novelnya.

Pertemuan terakhir saya dengan Trisman yakni acara sosialisasi UU No.24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, di Balai Bahasa Sumatera Selatan yang kini berkantor di Jakabaring, Palembang, pada Jumat (04/11/2011) lalu.

Kami bersama Dr. Sugiyono, dari Badan Bahasa, mendiskusikan berbagai hal, di ruang kerjanya. Selain menanyakan kapan novel Cagak diluncurkan, dia tertarik dengan gagasan Sugiyono soal program Ekspedisi Bahasa. Dia menilai, persoalan perbatasan Nusantara, bukan hanya dijaga dengan meliter, tapi juga dengan penandaan kebudayaan, seperti pengakuan Bahasa dan Sastra di wilayah perbatasan.

Perpisahan Akhir Desember 2011
Sepekan lalu, penyair Anwar Putra Bayu bertemu dengan Trisman di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Menurut Bayu, Trisman mengungkapkan keinginannya menggelar sebuah kegiatan seni pada akhir Desember 2011 sebagai kegiatan perpisahan dirinya sebagai Kepala Balai Bahasa Sumatera Selatan.

Pertemuan itu selain adanya diskusi sastra, juga dipertunjukkan berbagai kegiatan seni, seperti pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan sastra tutur.

“Ternyata itu keinginan terakhir,” kata Bayu.

Siapa Bambang Trisman? Sebelum dikenal sebagai peneliti sastra dan bahasa, Trisman dikenal sebagai sastrawan. Beberapa buku yang ditulisnya, baik sendiri maupun dengan penulis lain, antara lain “Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia, 1920-1950 (1997)”, “Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern (2003)”, “Novel Indonesia 15 tahun Sesudah Kemerdekaan, 1946-1960: Telaah Struktur Estetika dan Tema (2000)”, “Tiga Novel Penerima Hadiah Sastra SEA Write Award: Sang guru karya Gerson Poyk, Ladang perminus karya Ramadhan K. H., dan Bekisar merah karya Ahmad Tohari (2003)”, “Si kembar dan perkutut (2001)”, “Kisah si Manjau (1999)”, “Pedoman Ejaan Bahasa Palembang (2007)”, serta puluhan karya lainnya yang tak cukup ditulis di sini.

Kini, Minggu (18/12/2011), Trisman pergi buat selamanya. Dan saya berharap semua kebaikan dan kerjanya bagi kemanusian, akan membawanya pada satu ruang yang indah disediakan Tuhan Yang Maha Esa. Amin. [*]