Rabu, 25 April 2012

Renungan tentang Kasih Sayang Ibu


IBU, CINTAMU SUNGGUH LUAR BIASA
Written by dr. Andhyka Sedyawan. Posted in ArticlesCinta Hebat
Assalaamu’alaikum. Salam Hebat,
Kamu pasti setuju bahwa Ibu adalah sosok yang paling Luar biasa yang tak tergantikan. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah... kalimat ini menggambarkan betapa luar biasanya kasih sayang ibu yang memang tiada duanya, Ikhlas memberi tanpa harap tuk dibalas kembali.
Rasanya… tak habis-habis ungkapan untuk menyanjung hamba Allah yang di hormati ini. Setuju?
Sahabat, aku pun punya cerita menarik.  Semoga menjadi Inspirasi ya.., yuk lanjuut,
Alkisah, seorang pemuda sedang melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Dia sudah berhasil lolos di tes-tes pendahuluan, dan kini tiba saatnya dia harus menghadap kepada pimpinan untuk wawancara akhir.
Setelah melihat hasil tes dan penampilan si pemuda, sang pemimpin bertanya, “Hai Anak muda, apa cita-citamu?”
Dengan tegas pemuda itu berucap, “Cita-citaku, suatu hari nanti bisa duduk di bangku Bapak,” jawab si pemuda.“Kamu tentu tahu, untuk bisa duduk di bangku ini, tidaklah mudah. Perlu kerja keras dan waktu yang tidak sebentar. Betul kan?” sahut sang pimpinan.
Si pemuda hanya menganggukkan kepala tanda setuju.“Apa pekerjaan orangtuamu?” lanjutnya bertanya.“Ayah saya telah meninggal saat saya masih kecil. Ibulah yang bekerja menghidupi kami dan menyekolahkan saya selama ini.”
“Apakah kamu tahu tanggal lahir ibumu?” kembali sang pimpinan bertanya.
“Di keluarga kami tidak ada tradisi merayakan pesta ulang tahun, sehingga saya juga tidak tahu kapan ibu saya berulang tahun.”“Baiklah anak muda, bapak belum memutuskan kamu diterima atau tidak bekerja di sini. Tetapi ada satu permintaan saya! Saat di rumah nanti, lakukan sebuah pekerjaan kecil ini yaitu cucilah kaki ibumu dan besok datanglah kemari lagi.”
Walaupun bingung dan tidak mengerti maksud dan tujuan permintaan tersebut, demi permintaaan yang tidak biasa itu, dia ingin mencoba melakukannya.
Setelah senja tiba, si pemuda membimbing ibunya duduk dan berkata, “Ibu nampak lelah, duduklah Bu, Aku akan cuci kaki ibu.”Sambil menatap takjub putranya, si ibu menganggukkan kepala. “Anakku, rupanya sekarang engkau telah dewasa dan mulai mengerti.”
Si pemuda pun mengambil ember berisi air hangat, kemudian mengamati sepasang kaki ibundanya yang sudah tampak rapuh, berkeriput, dan terasa kasar di telapak tangannya itu mulai direndam sambil diusap-usap dan dipijat perlahan.Diam-diam airmatanya mengalir perlahan. “Ibu, terima kasih terima kasih tak terhingga yang takkan pernah terbalas. Berkat kaki inilah aku bisa menjadi seperti hari ini.” ibu, aku mohon maaf atas semua kesalahan yang membuat ibu tersakiti.. maafkan ananda ya ibu…
“Si ibu pun ikut terhanyut dalam suasana haru, dan mereka pun saling berpelukan dengan penuh kasih dan kelegaan.
Tibalah  keesokan harinya, ketika sudah berhadapan dengan sang pemimpin, dia pun berkata berkata, “Coba ceritakan, bagaimana perasaanmu saat kamu mencuci kaki ibumu.”
“Sekarang saya mengerti akan pengorbanan dan kasih sayang ibu yang tiada habisnya. Kali ini saya sadar, betapa ibu telah menjadi sosok yang luar biasa di hati saya. Siapapun diriku saat ini, atau akan menjadi apa saya kelak. Saya sangat berutang budi kepada kepada ibuku yang bagai malaikat, dan melalui kaki ibu, saya pun tersadar, bahwa saya harus bekerja dengan sungguh-sungguh demi membaktikan diri dan menjadi kebanggan ibu saya”
Mendengar jawaban si pemuda, akhirnya sang pemimpin menerima dia bekerja di perusahaan itu. Karena sang pemimpin yakin, seseorang yang tahu bersyukur dan tahu  membalas budi kebaikan orangtuanya, dia adalah orang yang mempunyai cinta kasih. Dan orang yang seperti itu pasti akan bekerja dengan serius dan sukses!
Sahabat, Indahnya dunia bila kita selalu bersyukur atas apa yang sudah kita lewati selama ini, apa itu baik atau buruk, susah ataupun senang apapun itu, Saya yakin Tuhan punya rencana yang baik untuk kita, dan tak lupa kita juga bersyukur telah dilahirkan dari rahim ibu yang selalu menjadi kekuatan terselubung dalam hidup kita. Ya, ibu, mama, bunda, emak, apapun namanya.. Saya yakin kamu juga setuju kalau saya  mengatakan mereka adalah wanita hebat, dinamis dan penuh cinta.  Dia telah memberikan cintanya kepada kita supaya kita juga bisa menjadi luar biasa.

Love u mom… Love u Forever…!
With Love,
dr. Andhyka P Sedyawan

Rabu, 04 April 2012

CONTOH KARANGAN KHAS

               
Frederick Sitaung, Guru Sejati di Papua

Ahmad Arif dan Luki Aulia
(Kompas, 1 September 2007)

"Kitorang di sini butuh guru, bukan burung!" Demikian lelucon atau mop yang populer di masyarakat Merauke, Papua, untuk mengolok-olok guru yang sering kabur dari sekolah dan kelayapan ke bar atau klub malam yang menjamur di kota. Kisah guru yang kabur dan membiarkan murid tanpa guru adalah gambaran lumrah di pedalaman Merauke.

Ketika guru lain memilih kabur, Frederick Sitaung (35) tetap bertahan menjadi satu-satunya guru di Kampung Poepe, Desa Welputi, Kabupaten Merauke, Papua. Pernah didera kelaparan sepekan, nyaris dipanah orangtua murid, hingga gaji terlambat datang berbulan-bulan, tak membuatnya goyah.

"Saya akan tetap menjadi guru di Poepe sampai dipindahkan atau pensiun," kata Frederick yang ditemui di sekolah tempatnya mengajar pada pertengahan Agustus lalu.

Tekad Frederick tak bisa dianggap sembarangan, mengingat Poepe terletak jauh di pedalaman. Untuk mencapai kampung ini, kita harus naik sepeda motor dari Merauke ke Distrik Okaba selama tujuh jam. Dua kali sepeda motor mesti dinaikkan perahu untuk menyeberang Sungai Kumbe dan Sungai Bian. Dari Okaba, perjalanan dilanjutkan menggunakan sepeda motor selama tiga jam, di tambah dua jam mendayung.

Frederick Sitaung lahir dan besar di Rante Pau, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Setamat Sekolah Pendidikan Guru Rante Pau tahun 1992, ia merantau ke Merauke menjadi guru. Pada tahun itu pula dia diterima sebagai calon pegawai negeri sipil, dengan tugas pertama mengajar di pedalaman Poepe, Distrik Okaba.
Sejak saat itu Frederick belum pernah pindah tugas mengajar ke tempat lain. Padahal, kebanyakan guru yang mengajar di Poepe tak bertahan lama, rata-rata bertahan satu atau dua tahun. Sudah tujuh guru yang meminta pindah tugas dari Poepe selama 15 tahun Frederick di sini.

Bisa dikatakan, hanya Frederick dan seniornya, Papalangi (65), yang bertahan di Poepe. Berdua, mereka menjadi guru "tetap". Juli 2007, Papalangi pensiun setelah mengajar 24 tahun. Dengan demikian, Frederick kini satu-satunya guru sekaligus kepala sekolah. Ia mengajar 51 murid kelas satu hingga enam.

Tugas berat

Menjadi guru di pedalaman tak mudah. Frederick harus gigih mencari murid ke hutan setiap tahun ajaran baru. "Setelah liburan, anak-anak banyak yang tak kembali, mereka asyik di hutan. Murid baru juga harus dicari, kami harus pintar memberi pengertian kepada orangtua agar menyekolahkan anaknya," tutur Frederick yang belum pernah pulang ke Rante Pau sejak bertugas di Poepe.

Saat ujian setiap tahun juga pekerjaan berat. Frederick harus mengantar murid ke Desa Welputi yang ditempuh dengan mendayung selama dua hari. "Kami bawa bekal dan gantian mendayung dengan anak-anak. Kami tidur di pinggir sungai yang banyak nyamuk dan buaya. Jadi, harus gantian berjaga," tuturrnya.
Mengajar di kelas juga bukan pekerjaan mudah karena seringnya siswa membolos. "Mereka bisa menghilang sampai dua bulan, jadi harus mengulang kembali pelajaran. Namun, kalau tidak naik kelas, orangtua bisa marah," katanya.

Banyak juga siswa yang pingsan di kelas. Mereka kelaparan karena ditinggal orangtua ke hutan tanpa bekal makanan. Frederick pun pernah terancam mati kelaparan. Saat itu musim hujan tahun 1993. Daratan di Poepe menyempit karena telah berubah menjadi rawa-rawa. Semua orangtua pergi berburu ke hutan. Di kampung hanya ada Frederick, Papalangi, dan 20-an murid. "Sudah setengah bulan para orangtua pergi," tuturnya. Beras jatah untuk guru—dia dan Papalangi—habis karena dibagi dengan para murid. Sementara bantuan dari kota kecamatan tak bisa diharapkan. "Waktu itu, untuk mencapai Poepe, perlu waktu dua pekan karena harus mendayung, menyusuri Sungai Buraka dari Okaba," kisahnya.

Alhasil, Frederick dan Papalangi hanya memakan daun-daunan dan ikan yang berhasil ditangkap di rawa-rawa. "Untunglah sepekan kemudian para orangtua datang membawa hasil buruan dan sagu," ujarnya.

Selain kerap terancam kelaparan, Sitaung kenyang berbagai pengalaman, mulai dari belajar berburu buaya dan rusa untuk bertahan hidup, ditantang berkelahi oleh murid, hingga nyaris dipanah orangtua murid. Suatu ketika ia menemukan sepasang murid berbuat asusila pada jam istirahat. Ia menghukum mereka dan minta orangtuanya datang ke sekolah. Ketika datang, orangtua mereka justru marah dengan panah siap dilepas. Menurut mereka, guru tak berhak menghukum anaknya. Namun, mereka bisa diberi pengertian.
"Terkadang saya tak menyalahkan sepenuhnya teman guru yang kabur dari tanggung jawab mengajar di pedalaman. Perhatian pemerintah memang minim, beras, juga pengawas sekolah jarang yang datang," ungkapnya.

Guru sejati
Tak hanya mengajar anak-anak di sekolah, Frederick telah menjadi "guru" bagi masyarakat Poepe. Selama dua tahun terakhir ia merangkap sebagai pendeta sebab satu-satunya pendeta yang bertugas di sana tak pernah datang lagi. Gereja di Poepe juga dibangun atas prakarsa dia.
Berkali-kali ia membantu menyelesaikan konflik antarwarga, terkadang menjadi dokter saat bidan satu-satunya di kampung pergi ke kota. "Sebelum pergi, bidan biasa menitipkan obat-obatan kepada saya. Jadi, kalau ada warga sakit, saya yang obati," katanya.

Mulai Juli 2007, satu-satunya bidan di Poepe, Andriana Wetino (32), juga dipindah ke kota sehingga di kampung itu tak ada tenaga medis. Tugas Frederick pun tambah berat. Sungguhpun telah bekerja keras, pengabdian Frederick masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah setempat. Untuk mengajukan sepeda motor dinas, guna mengganti sepeda motor miliknya yang sudah hancur, ia harus membuat proposal hingga tujuh kali. Terakhir, Frederick harus datang ke Merauke dan bersitegang dengan ajudan pejabat terkait sebelum diberi jatah sepeda motor.

Di tengah tugas beratnya, Frederick masih dibebani kewajiban menjaga istri, Agustina Somolangi (34), yang terserang sakit ginjal. Belum lagi, salah satu anaknya harus kos di Okaba untuk melanjutkan sekolah menengah pertama. Frederick "ngos-ngosan" membiayai beban hidup keluarga dengan gaji plus tunjangan Rp 1,8 juta. "Ini pilihan hidup saya, apa pun harus dihadapi," ucapnya.
Penghargaan dan pengakuan datang dari masyarakat. Itu pula yang makin menguatkan tekad dia. Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind-anim Distrik Okaba, Frederickus Mahuze, mengatakan, Frederick sangat berjasa bagi masyarakat Marind.
"Banyak guru-guru asli Marind yang tak tahan, tetapi Guru Frederick yang asalnya jauh di Sulawesi justru 15 tahun mengabdi. Dia telah berbuat banyak bagi masa depan anak-anak Poepe. Sayang, tak banyak guru seperti dia," kata Frederickus.

Nama         : Frederick Sitaung
Lahir         : Kampung Bengala, Rante Pao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, 1972.
Istri            : Agustina Somolangi (34)
Anak          : Elfan Sitaung (12), Aan Sitaung (9)
Pendidikan: Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Rante Pao, Tana Toraja, 1992
Pekerjaan   : Guru sekaligus Kepala Sekolah SD Inpres Poepe, Merauke, Papua (1992-sekarang) 

Sumber: Menuju Jurnalisme Berkualitas Kumpulan Karya Finalis & Pemenang Mochtar Lubis Award 2008.

Minggu, 01 April 2012

KODE ETIK JURNALISTIK

Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang  dilindungi PancasilaUndang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung

Penafsiran Pasal Demi Pasal

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b.  Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c.  Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a.  menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b.  menghormati hak privasi;
c.  tidak menyuap;
d.  menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e.  rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f.  menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g.  tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a.  Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b.  Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c.  Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a.  Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b.  Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c.  Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d.  Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e.  Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a.  Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a.  Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a.  Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a.  Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a.  Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa'a Hia
8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S.
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat. 30. Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI)-Darwin Hulalata,SH. (Disunting oleh Asnawin)


CONTOH BERITA STRUKTUR PIRAMIDA TEGAK


KISAH SEORANG POLISI YANG MENILANG SRI SULTAN HB  IX

Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis, pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas Pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.

Becak dan delman amat dominan masa itu, persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

Saat mobil menepi, brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.

“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca , jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.

Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.

“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.

“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan, entah tujuannya kemana.

Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun sultan menolak.

“ Ya ..saya salah, kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.

“ Jadi?” Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .

“Em..emm ..bapak saya tilang, mohon maaf!”  Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Raja pun beliau tidak melakukannya.

“Baik..brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !”  Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah kata pun yang ke luar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar!” begitu gumamnya.

Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.

Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapa pun berhasil menghibur dirinya.

Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, Ialu kembali ke rumah dengan sepeda abu-abu tuanya.

Saat  apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.

“Royadin , apa yang kamu lakukan  sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!”  Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.

“Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun, biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.

“Siap pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah, dan memang salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.

“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja,  memang koppeg (keras kepala) kedengarannya.

Kepala polisi Pekalongan berusaha mencari tahu di mana gerangan sinuwun, masih di Tegal kah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaan  sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi Pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikutsertakan Brigadir Royadin.

Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa. Satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman-temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota Pekalongan Selatan.

Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan Soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya ke ruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.

“Royadin, minggu depan kamu diminta pindah!” lemas tubuh Royadin, ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko .

“Siap pak!” Royadin menjawab datar.

“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan Selatan, ini hanya merepotkan diri saja.

“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.

“Ngawur. Kamu sanggup bersepeda Pekalongan–Jogja? Pindahmu itu ke Jogja bukan di sini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!”  Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digengamannya kepada Brigadir Royadin.

Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya,  “ Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta  akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta  bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.”  Ditanda tangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.

“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari Pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!”  Brigadir Royadin bergetar,  ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.

Juli 2010, saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada Sang Khalik dari keluarga di Pekalongan, saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak famili yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya,  sekaligus kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya, pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran.

Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati. Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari Sabang sampai Merauke.

Depok , 25 Juni  2011
Aryadi Noersaid

Sumber: Pangkalan Berita Unik, 30 Maret 2012